Selasa, 14 Desember 2010

SISTEM AKIDAH ISLAM

A.      Pengertian dan Hakikat Akidah
Menurut bahasa (etimology) akidah berasal dari perkataan bahasa Arab yaitu kata dasar al-aqd yaitu al-Rabith (ikatan), al-Ibram (pengesahan), al-Ahkam (penguatan), al-Tawuts (menjadi kokoh, kuat), al-syadd bi quwwah (pengikatan dengan kuat), dan al-Itsbat (penetapan). Sedangkan Aqidah secara istilah (terminologi) adalah perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan jiwa menjadi tenteram karenanya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang teguh dan kokoh, yang tidak tercampuri oleh keraguan dan kebimbangan.

FENOMENA ANAK JALANAN

Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk yang cukup padat di dunia dan terdiri dari masyarakat yang pluralis termasuk strata di dalam masyarakat itu sendiri. Sehingga bukan merupakan suatu hal yang asing lagi bagi kita warga negara Indonesia apabila menjumpai banyak anekaragam orang-orang yang ada di negeri ini, mulai dari kondisi yang ada di kota-kota hingga pedesaan. Meskipun Indonesia dipandang sebagai negara yang kaya sumber alamnya, tetap saja kita dapat menyaksikan bagaimana orang-orang Indonesia sendiri masih banyak yang berada di bawah garis kemiskinan bahkan sampai ada yang terlantar. Melihat kondisi ini sangatlah ironis, karena menjadi sebuah sisi gelap di tengah perkembangan kemajuan pembangunan negeri ini.
Perkembangan kota di segala bidang tampaknya tidak hanya memberikan nuansa positif bagi kehidupan masyarakat, namun juga melahirkan persaingan hidup. Sehingga muncul fenomena kehidupan yang berujung pada kemiskinan. Kota yang padat penduduk dan banyaknya keluarga yang bermasalah telah membuat makin banyaknya anak yang kurang gizi, kurang perhatian, kurang pendidikan, kurang kasih sayang dan kehangatan jiwa, serta kehilangan hak untuk bermain, bergembira, bermasyarakat dan hidup merdeka. Bahkan banyak kasus yang menunjukkan meningkatnya penganiayaan terhadap anak-anak, mulai tekanan batin, kekerasan fisik, hingga pelecehan seksual, baik oleh keluarga sendiri, teman, maupun orang lain.
Komposisi masyarakat yang terlantar umumnya terdiri dari anak-anak dan lansia. Pada tahun 2006 terdapat 78,96 juta anak di bawah usia 18 tahun, 35,5% dari total seluruh penduduk Indonesia. Sebanyak 40% atau 33,16 juta diantaranya tinggal di perkotaan dan 45,8 juta sisanya tinggal di perdesaan. Sebagian besar anak-anak ini berasal dari keluarga miskin dan tertinggal, yang tidak mempunyai kemampuan untuk memberdayakan dirinya, sehingga rentan terhadap kekerasan, eksploitasi, ketimpangan gender, perdagangan anak dan lain-lain. Menurut laporan Depsos pada tahun 2004, sebanyak 3.308.642 anak termasuk ke dalam kategori anak terlantar.
Dewasa ini, pertumbuhan anak jalanan di Indonesia semakin meningkat, terutama di kota-kota besar. Jakarta adalah salah satu contoh, dimana kita akan sangat mudah menemui anak jalanan di berbagai tempat, mulai dari perempatan lampu merah, stasiun kereta api, terminal, pasar, pertokoan, dan bahkan mal. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa biasanya mereka memang dikoordinir oleh kelompok yang rapi dan profesional, yang sering disebut sebagai mafia anak jalanan. Setiap anggota kelompok ini mempunyai tugasnya. Ada yang melakukan mapping di setiap perempatan jalan, ada yang mengatur antar jemput dan sebagainya. Mafia ini mengeksploitasi anak-anak dan menjadikannya sebagai sebuah ladang bisnis. Dan yang lebih memprihatikan, kondisi ini seringkali atas persetujuan dari orang tua mereka sendiri, yang bahkan juga tak jarang berperan sebagai bagian dari mafia anak jalanan.
Seseorang bisa dikatakan anak jalanan, bila berumur dibawah 18 tahun, yang menggunakan jalan sebagai tempat mencari nafkah dan berada di jalan lebih dari 6 jam sehari. Ada beberapa tipe anak jalanan, yaitu (1) anak jalanan yang masih memiliki orang tua dan tinggal dengan orang tua, (2) anak jalanan yang masih memiliki orang tua tapi tidak tinggal dengan orang tua, (3) anak jalanan yang sudah tidak memiliki orang tua tapi tinggal dengan keluarga, dan (4) anak jalanan yang sudah tidak memiliki orang tua dan tidak tinggal dengan keluarga.
Banyak penampungan, rumah singgah dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang mengurus masalah anak jalanan, tapi anak-anak jalanan makin banyak dan malah berkembang semakin pesat. Yang sudah di sekolahkan malah keluar dari sekolahnya serta kembali menjadi pengamen dan peminta-minta. Menurut teori reinforcement: "sesuatu yang menyenangkan akan selalu diulang, sesuatu yang tidak menyenangkan akan dihindari". Mereka menganggap sekolah adalah sesuatu yang tidak menyenangkan (punishment) dan dengan mengamen/meminta-minta di jalan adalah sesuatu yang menyenangkan (reward) karena akan mendapatkan banyak uang untuk bersenang-senang. Apalagi sekarang ini menjadi anak jalanan adalah sesuatu yang "TOP", mereka diundang dan dapat bersalaman dengan presiden pada hari kemerdekaan/hari anak-anak/hari khusus lainnya, itu adalah sesuatu reinforcement yang hebat.
Anak jalanan adalah orang-orang yang secara fisik dan psikis belum dapat dikatakan menjadi dewasa. Mereka biasanya menghabiskan waktu mereka di jalanan dengan melakukan berbagai kegiatan-kegiatan yang bisa mendatangkan uang untuk mereka, seperti mengamen, menawarkan jasa (menjadi tukang sol sepatu, tukang parkir, tukang koran, dll), bahkan tidak sedikit dari mereka yang biasa mencopet untuk bisa mendapatkan uang yang lebih banyak. Sangat berat menjalani peran sebagai seorang anak jalanan. Tidak bisa sekolah, bertempat tinggal di kolong jembatan/emperan toko dengan peralatan yang seadanya, mencari uang di jalanan dengan modal seadanya. Bisa dibayangkan, dengan pendapatan perhari yang seadanya, berapa kali mereka bisa makan dalam sehari? Maka dari itu, kita patut bersyukur dengan kondisi kita yang sekarang, yang masih diberi berbagai kecukupan. Sebenarnya, bukan menjadi keinginan mereka untuk menjalani kehidupan yang seperti itu. Keadaanlah yang mengharuskan mereka menjalani hidup seperti itu.

Daftar Pustaka

MANUSIA DAN AGAMA

A.      Manusia Menurut Agama Islam
Di dalam Al-Qur’an manusia disebut antara lain dengan al-insan (QS 76:1), an-nas (QS 114:1), basyar (QS 18:110), bani adam (QS 17:70). Berdasarkan studi isi Al-Qur’an dan Al-Hadits, manusia (al-insan) adalah makhluk ciptaan Allah yang memiliki potensi untuk beriman kepada Allah dan dengan mempergunakan akalnya mampu memahami dan mengamalkan wahyu serta mengamati gejala-gejala alam, mempunyai rasa tanggung jawab atas segala perbuatannya dan berakhlak (N.A. Rasyid, 1983: 19). Berdasarkan rumusan tersebut, manusia mempunyai berbagai ciri sebagai berikut:
1.        Makhluk yang paling unik, dijadikan dalam bentuk yang sangat baik, ciptaan Tuhan yang paling sempurna.

"Sesungguhnya Kami telah menjadikan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya." (QS 95:4)
2.        Manusia memiliki potensi (daya atau kemampuan yang mungkin dikembangkan) beriman kepada Allah.
"… ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.’ " (QS 7:172)
3.        Manusia diciptakan Allah untuk mengabdi kepada-Nya.
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku." (QS 51:56)
4.        Manusia diciptakan Tuhan untuk menjadi khalifahnya di bumi.
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesunggunya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ … " (QS 2:30)
5.        Manusia dilengkapi akal, perasaan, dan kemauan atau kehendak.
"Dan katakanlah: ‘kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.’ …" (QS 18:29}
6.        Manusia secara individual bertanggung jawab atas segala perbuatannya.
"… Setiap orang (manusia) terikat (bertanggung jawab) terhadap apa yang dilakukannya." (QS 52:21)
7.        Manusia itu berakhlak.
Manusia menurut agama Islam, terdiri dari dua unsur, yaitu unsur materi berupa tubuh yang berasal dari tanah dan unsur immateri berupa roh yang berasal dari alam gaib. Al-Qur’an mengungkapkan proses penciptaan manusia:
"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal dari) tanah [12]. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim) [13]. Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan ia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci-lah Allah, Pencipta Yang Paling Baik [14]. Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah [7]. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani) [8]. Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi Kamu pendengaran, penglihatan, dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur [9]." (QS 23:12-14, 32:7-9)

B.       Ruang Lingkup Agama Islam
Ruang lingkup agama Islam mencakup tiga bagian, yaitu aqidah, syari’at, dan akhlak. Menurut bahasa, aqidah berarti ikatan, sangkutan atau simpul, sedangkan menurut pengertian sebenarnya adalah kepercayaan dan keyakinan yang menyatakan bahwa Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak beranak dan tidak diperanakkan juga tidak ada sesuatu yang menyerupai-Nya.
Selanjutnya, Syari’at menurut bahasa berarti jalan, sumber air, petunjuk menuju sumber air atau jalan yang harus ditempuh setiap orang. Terdapat pengertian yang lebih luas yaitu peraturan-peraturan yang bersumber pada wahyu Allah SWT dan kesimpulan-kesimpulan yang dapat dianalisis dari wahyu itu mengenai tingkah laku manusia.  Syari’at terdiri dari dua bagian yaitu ibadah (yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, seperti: shalat, shiyam, haji, dan sebagainya) dan mu’amalah (yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dan makhluk lain yang mencakup kehidupan sosial, ekonomi, politik, peradaban dan kebudayaan).
Terakhir, akhlak menurut bahasa berarti perbuatan, adat, perangai, tingkah laku secara umum, baik terpuji ataupun tercela. Sedangkan menurut pengertian istilah adalah al-akhlak al-Islamiyah yang berarti tingkah laku, perbuatan dan perangai terpuji berdasarkan kepada AlQuran dan Sunnah. Akhlak dibagi menjadi dua, yaitu akhlak terhadap Allah dan akhlak terhadap makhluk (manusia dan selain manusia) serta segala sesuatu selain Allah (alam, flora, dan fauna). Akhlak terhadap manusia diantaranya terhadap Nabi/Rasul, terhadap diri sendiri, terhadap keluarga, masyarakat, dan bangsa.
Dapat disimpulkan bahwa aqidah, syari’at dan akhlak merupakan satu kesatuan dan aqidah lebih utama menjadi pondasi dari keduanya.
Daftar Pustaka
http://www.angelfire.com/id/akademika/msmanagama99.html.
Mubarak, Zakky. 2007. Menjadi Cendekiawan Muslim. Jakarta: PT Magenta Bhakti Guna.

KELUARGA SAKINAH, MAWADDAH DAN RAHMAH

A.      Pengertian Keluarga Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah
Kata sakinah berasal dari bahasa Arab yang berarti tenang atau “ketenangan”. Sakinah merupakan suatu ketenangan yang harus didahului oleh gejolak, karena dalam setiap rumah tangga diwarnai dengan gejolak, bahkan kesalahpahaman, namun ia dapat segera tertanggulangi lalu melahirkan sakinah (ketenangan). Kata Mawaddah memiliki arti kelapangan dada dan terhindarnya jiwa seseorang dari kehendak yang buruk. Mawaddah adalah cinta sejati yang memiliki unsur perhatian, tanggungjawab, penghormatan serta pengetahuan. Sedangkan rahmah adalah kasih sayang, kondisi psikologis yang muncul di dalam hati, karena menyaksikan ketidakberdayaan, sehingga mendorong yang bersangkutan untuk memberdayakannya. Karena itu, dalam kehidupan keluarga, masing-masing suami istri rela bersusah payah demi mendatangkan kebaikan bagi pasangannya serta menolak segala yang mengganggu dan mengeruhkannya.
Dengan demikian, keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah adalah keluarga yang di dalamnya penuh dengan ketenangan, ketentraman, dan kebahagiaan, akibat menyatunya pemahaman dan kesucian hati, serta bergabungnya kejelasan pandangan dengan tekad yang kuat.   

B.       Karakteristik Keluarga Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah
Kebahagiaan manusia atau keluarga yang sakinah akan tercapai bila memenuhi beberapa hal, yaitu yang pertama rumah yang luas, maksudnya tempat tinggal yang memberikan kenyamanan, ketentraman dan kelapangan hati. Kedua kendaraan yang layak, maksudnya kendaraan yang dapat mengantarkan pemiliknya ke tempat-tempat yang baik dan diridhai oleh Allah SWT. Dan ketiga, istri atau suami yang shalihah dan shalih merupakan pendamping hidup yang senantiasa beribadah dan mendekatkan kepada Allah serta selalu mengingatkan jika salah satu diantara keluarga melakukan kesalahan.

1.        Mendidik keluarga
Setelah mampu membina keluarga dan kehidupan secara mandiri sesuai dengan perintah Allah SWT, maka tugas selanjutnya adalah mendidik keluarga dan anak-anak agar menjadi generasi penerus yang saleh, beriman dan bertaqwa. Kebahagiaan yang paling tinggi dalam kehidupan adalah memperoleh petunjuk dan hidayah dari Allah SWT, serta memiliki anak-anak yang shalih yang menjadi kebanggaan keluarga dan masyarakatnya. Orang tua yang baik adalah mereka yang selalu mengarahkan anak-anaknya kepada jalan yang diridhai oleh Allah SWT. Karena itu, kita harus menjadikan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan sebagai pedoman bersama seluruh keluarga dalam mengarungi bahtera kehidupan.

2.        Berbakti Pada Orangtua
Setelah hidup mandiri dengan keluarga yang sakinah, dipenuhi dengan ketentraman dan kebahagiaan, jangan lupa hendaknya selalu berbakti kepada orangtua yang telah melahirkan dan membimbing selama bertahun-tahun, sehingga menjadi anak yang baik dan terpuji. Berbakti kepada kedua orangtua dalam pandangan Islam sangatlah penting dan merupakan suatu keharusan yang selalu dijaga dengan baik.   


C.      Tujuan Keluarga Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah
Pembentukan keluarga merupakan salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih besar. Tujuan yang meliputi berbagai aspek kemasyarakatan dan mempunyai pengaruh yang kuat dan mendasar dalam pembentukan masyarakat yang maju dan beradab.
1.        Tanggungjawab dalam Keluarga
Menurut Islam, keluarga tidak hanya bertujuan untuk mengintegrasikan individu tetapi sekaligus juga membentuk masyarakat. Keluarga merupakan sebuah sel pertama yang penting bagi berdirinya masyarakat. Kedudukan keluarga sangat penting dan menentukan, karena itu keberadaannya tidak mungkin dihilangkan. Keluarga merupakan pusat seluruh aktivitas manusia berlangsung. Antara suami, istri, dan anak mempunyai tanggungjawab masing-masing untuk membina rumah tangganya menjadi sakinah, mawaddah, wa rahmah.
2.        Tanggungjawab Sosial
Dari keluarga berkembanglah menuju kewajiban pada anggota masyarakat, maka diketahuilah adanya kewajiban timbal balik antara pribadi dan masyarakat serta masyarakat terhadap pribadi-pribadi. Kewajiban itu juga pasti akan menimbulkan hak masing-masing antara pribadi dan keluarga, sehingga terbentuklah keserasian dan keseimbangan antara keduanya hak dan kewajiban tersebut tidak terbatas dalam bentuk penerimaan dan atau penyerahan harta benda, tetapi mencakup semua aspek kehidupan.

Keluarga adalah unit terkecil yang menjadi pendukung dan pembangkit lahirnya bangsa dan masyarakat. Selama pembangkit itu mampu menyalurkan arus yang kuat dan sehat, selama itu pula masyarakat bangsa akan menjadi sehat dan kuat. Keluarga mempunyai andil yang sangat besar bagi tegak-runtuhnya suatu masyarakat. Betapa besar peranan keluarga dan betapa keberhasilan kita secara perorangan atau kolektif ditentukan oleh keberhasilan dalam keluarga masing-masing.    

Dewasa ini, kita sering menyaksikan berbagai fenomena yang sangat meneyentuh kehidupan masyarakat terutama di kota-kota besar diantaranya adalah maraknya anak-anak jalanan termasuk mereka yang terlantar. Menjadi sebuah pertanyaan mendasar mengapa hal ini dapat terjadi dan apakah yang terjadi ini merupakan keinginan mereka yang telah dikategorikan sebagai orang yang termarjinalkan tersebut. Bila kita kembalikan pada uraian-uraian tentang keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah di atas jelas memiliki hubungan yang erat terhadap apa yang menjadi fenonema tersebut. Anak-anak jalanan merupakan kondisi yang menunjukkan tidak eksistensinya tanggung jawab dalam sebuah keluarga. Sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah adalah keluarga yang di dalamnya penuh dengan ketenangan, ketentraman, dan kebahagiaan. Termasuk di dalam keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah ini adalah adanya kesatuan untuk saling mengetahui tanggung jawab diantara anggota keluarga, yaitu bagaimana tanggung jawab seorang istri kepada suami, tanggung jawab suami kepada istri, juga tanggung jawab orangtua dalam mendidik keluarga dan anak serta tanggung jawab anak untuk berbakti kepada kedua orangtuanya. Sakinah, mawaddah, wa rahmah adalah tujuan dibentuknya sebuah keluarga, karena keluarga yang seperti inilah yang diajarkan di dalam Islam. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa apa yang terlihat dari fenomena anak jalanan yang semakin meningkat terlebih di kota besar saat ini menunjukkan tidak tercapainya sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah yang menurut ajaran Islam. Anak-anak jalanan yang tidak memiliki ataupun masih memiliki keluarga tidaklah merasakan makna dari sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah karena mereka sendiri telah mengalami didikan yang salah dari orangtua mereka. Kondisi lah yang mendorong orang tua mereka untuk melakukan hal itu, sehingga anak-anak mereka tidak mendapatkan apa yang sebenarnya harus mereka  dapatkan, yaitu kesempatan bermain, belajar, juga kasih sayang dari orangtua.

Daftar Pustaka
Mubarak, Zakky. 2007. Menjadi Cendekiawan Muslim. Jakarta: PT Magenta Bhakti Guna.

Pencabutan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan

Undang-undang badan hukum pendidikan atau disingkat dengan UU BHP telah menemui titik akhir setelah Mahkamah Konstitusi membatalkan UU No. 9 Tahun 2009 tentang badan hukum pendidikan ini karena beberapa alasan yang secara mutlak menggugurkan undang-undang tersebut. Jelas hal ini merupakan proses yang panjang karena sejak penerapan undang-undang tersebut menuai banyak kontroversi dalam masyarakat. Sejumlah masyarakat mengkritik kebijakan tersebut yang dinilai sarat dengan kontradiksi pendidikan di Indonesia karena tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat banyak, sebagaimana yang diamanahkan dalam pembukaan UUD 1945.
Bertolak dari isi Undang-undang Badan Hukum Pendidikan, saya tidak setuju dengan pemberlakuan kebijakan tersebut. Mengapa dikatakan demikian? Undang-undang BHP sangat bertentangan dan tidak sesuai dengan konstitusi yaitu UUD 1945 khususnya pada pasal 31 yang berisikan tentang kesempatan untuk mendapatkan pendidikan. Sehingga, UU tersebut menjadi lemah karena tidak adanya hukum yang mengikat dan mendasarinya. Jelas, pembuat kebijakan nampaknya tidak lagi memerhatikan korelasi antara kebijakan yang dibuat dengan apa yang menjadi amanah UUD 1945 sebagai acuan dalam menghasilkan sebuah produk hukum.
 Sudah sepatutnya pembiayaan dan pengelolaan pendidikan itu merupakan tanggung jawab dari pemerintah, akan tetapi UU BHP itu ditujukan untuk memperkuat otonomi penyelenggaraan pendidikan. Hal itu terlihat pada pasal 3 yang berisikan bahwa pada jenjang pendidikan dasar dan menengah diterapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah. Sementara itu, pada jenjang perguruan tinggi, diterapkan otonomi perguruan tinggi. Dengan demikian perguruan tinggi memilliki landasan untuk melakukan kemandirian dalam mengelola sendiri lembaganya, termasuk mengelola dana secara otonom.  Kondisi tersebut, secara otomatis dimaknai sebagai usaha lepas tangan pemerintah dalam pembiayaan pendidikan, padahal pemerintah memiliki peranan yang besar di dunia pendidikan.
Kondisi dimana perguruan tinggi khususnya PTN yang bersifat otonom ini disertai lemahnya intervensi pemerintah dalam praktik pembatasan subsidi atau dana yang dikucurkan pada PTN membuat mereka bebas untuk menghimpun dana secara mandiri dari masyarakat. Akibat yang tentunya tidak dapat dipungkiri lagi ialah penyelenggara pendidikan tersebut secara bebas menentukan tarif masuk kepada setiap calon peserta didik dan pemerintah terkesan telah melepas tanggung jawab dengan membebankan biaya pendidikan kepada peserta didik. Pendidikan dengan biaya mahal adalah konsekuensinya yang cenderung bersifat sebelah pihak. Artinya, pendidikan tersedia bagi mereka yang kaya dengan kemampuan uang mereka sehingga dapat memperoleh pendidikan dengan mudah. Sebaliknya, mereka yang tidak memiliki kemampuan finansial atau orang-orang miskin sulit untuk menjangkau biaya pendidikan dan  terancam tidak dapat menikmati pendidikan tinggi. Tidak menutup kemungkinan, ini merupakan jalan yang terbuka lebar bagi adanya komersialisasi pendidikan. 
Ternyata, pemerataan kesempatan dalam memperoleh pendidikan menjadi pertanyaan mengingat UUD 1945 mengamanahkan hal tersebut terlebih untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Apa yang menjadi tujuan konstitusi jelas tidak sejalan dengan undang-undang BHP. Diasumsikan, tujuan yang sebenarnya ingin diharapkan dari adanya UU BHP adalah pendidikan yang lebih baik, akan tetapi malah sebaliknya. Pemerintah hendaknya tetap konsisten dan benar-benar menjalankan apa yang telah diamanahkan di dalam UUD 1945. Dengan demikian, maka pemerintah dituntut untuk merealisasikan alokasi anggaran sebesar 20 persen untuk pendidikan secara komprehensif agar akses memperoleh pendidikan dapat merata bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Referensi:

Senin, 13 Desember 2010

MEWUJUDKAN REVITALISASI TERHADAP PENCAPAIAN FUNGSI PERTAHANAN NEGARA

Indonesia merupakan negara kompleks dengan wilayah yang luas dan jumlah penduduk yang besar. Sebagai negara yang merdeka, memiliki wilayah dengan batas-batas yang jelas dan kedaulatan di dalamnya sangatlah tentu berkaitan dengan kelangsungan hidup bangsa negara tersebut. Tidak dapat dipungkiri, bahwa negara selalu memiliki ancaman yang datang baik dari luar maupun dalam negara. Sehingga, pemerintah sebagai alat pelaksana fungsi-fungsi negara berperan untuk melindungi dan menjaga bangsa dan negara melalui fungsi pertahanan negara. Di dalam undang-undang nomor 3 tahun 2002 tentang pertahanan negara, pertahanan negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Pertahanan negara bertujuan untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman. Pertahanan negara berfungsi untuk mewujudkan dan mempertahankan seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai satu kesatuan pertahanan. Undang-Undang Pertahanan Negara mengamanatkan fungsi kekuatan pertahanan adalah fungsi yang mengurusi dua bangun kekuatan pertahanan negara yang dipersiapkan untuk menghadapi baik ancaman militer maupun ancaman nonmiliter. Untuk itu fungsi kekuatan pertahanan terdiri dari fungsi yang menjalankan tugas-tugas pengelolaan komponen pertahanan negara, dan fungsi yang melaksanakan pengelolaan sumber daya pertahanan menjadi unsur kekuatan bangsa.
Hakikat pertahanan negara adalah segala upaya pertahanan bersifat semesta yang penyelenggaraannya didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara serta keyakinan pada kekuatan sendiri. Upaya pembelaan negara merupakan tekad, sikap, dan tindakan warga negara yang teratur, menyeluruh, terpadu, dan berlanjut yang dilandasi oleh kecintaan pada tanah air, kesadaran berbangsa dan bernegara Indonesia serta keyakinan pada Pancasila dan UUD 1945 (Basrie, 1992:14). Memahami, menghayati arti bela negara dan pertahanan keamanan negara merupakan salah satu upaya memupuk semangat nasionalisme dan jati diri bangsa Indonesia. Nasionalisme mengandung arti mencintai bangsa dan negara sendiri. Semangat nasionalisme yang tinggi akan terbangun kekuatan dan kontinuitas sentimen mencintai bangsa dalam bentuk identitas nasional.
Setiap negara berkeinginan untuk selalu dapat meningkatkan kemampuan militernya. Dengan kemampuan militer yang semakin canggih maka negara tersebut mempunyai kemampuan diri yang dapat diandalkan untuk menghadapi berbagai ancaman, baik yang datang dari dalam maupun dari luar negara. Masalah pertahanan negara merupakan faktor yang sangat hakiki dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara. Tanpa mampu mempertahankan diri dari ancaman baik luar maupun dalam negara, suatu negara tidak akan dapat mempertahankan keberadaannya. Untuk menjamin pelestarian kedaulatan, serta melindungi unsur wilayah dan kepentingan nasional dibutuhkan ketegasan tentang batas wilayah. Ketegasan batas wilayah tidak hanya untuk mempertahankan wilayah tetapi juga untuk menegaskan hak bangsa dan negara dalam pergaulan internasional.
Pertahanan negara diselenggarakan melalui usaha membangun dan membina kemampuan, daya tangkal negara dan bangsa, serta menanggulangi setiap ancaman. Dalam penyelenggaraannya pertahanan negara melibatkan seluruh warga negara, wilayah dan sumberdaya nasional, disiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara terpadu, terarah dan berkesinambungan. Pembinaan dan pendayagunaan potensi sumberdaya nasional diarahkan sebagai potensi pertahanan guna mendukung terwujudnya kekuatan dan kemampuan komponen pertahanan dan unsur lain kekuatan bangsa yang mampu mengantisipasi dan menghadapi setiap bentuk dan sifat ancaman. Komponen utama pertahanan negara adalah Tentara Nasional Indonesia yang siap digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas pertahanan. Tentara Nasional Indonesia berperan sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tentara Nasional Indonesia bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan negara untuk:
·         mempertahankan kedaulatan negara dan keutuhan wilayah,
·         melindungi kehormatan dan keselamatan bangsa,
·         melaksanakan operasi militer selain perang, dan
·         ikut serta secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional.

Dalam menjalankan fungsinya berbagai kendala yang dihadapi TNI. Permasalahan-permasalahan yang dihadapi TNI diantaranya: Alat utama sistem pertahanan (Alutsista), Sumber Daya Manusia, dan Anggaran. Oleh karena itu, maka dalam rangka menuju pertahanan negara yang kuat diperlukan revitalisasi yang diantaranya adalah sebagai berikut:
1)      Perumusan strategi pertahanan,
2)      Pemenuhan alutsista,
3)      Peningkatan SDM, dan
4)      Pemenuhan anggaran.

Untuk meningkatkan kekuatan pertahanan negara, agar lebih mampu melindungi seluruh bangsa dan negara maka dibutuhkan suatu dukungan secara menyeluruh, karena pertahanan negara bukan milik TNI saja tetapi milik seluruh komponen bangsa. Pertahanan negara yang kuat/handal merupakan harga diri sebuah bangsa karena negara lain menjadi tidak memandang remeh terhadap Indonesia. Oleh sebab itu, untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan NKRI dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara dibutuhkan:
1.      Alutsista yang handal dan mampu melindungi serta menahan kemungkinan berbagai ancaman baik dari dalam maupun dari luar negeri.
2.      Sumber daya manusia yang memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi dan mampu mengatasi berbagai permasalahan akibat perkembangan globalisasi baik teknologi maupun informasi.
3.      Serta dukungan dana yang sesuai dengan kebutuhan peningkatan baik untuk pengembangan alutsista maupun untuk peningkatan kesejahteraan.

Salah satu realitas yang terjadi saat ini misalnya terdapat wilayah yang rawan akan ancaman negara lain, contoh di Pulau Kalimantan. Panjang wilayah perbatasan RI-Malaysia di Kalimantan Barat yang mencapai 1.000 kilometer, ada 200 kilometer yang belum dijaga. Dari panjang wilayah perbatasan sekitar 1.000 kilometer, baru 800 kilometer yang telah memiliki pos penjagaan yakni sebanyak 31 pos, sedangkan 200 kilometer masih merupakan wilayah terbuka. Keseluruhan panjang garis perbatasan di wilayah Kalimantan adalah 2.004 kilometer dengan komando pengendalian hanya berada pada satu Komando Daerah Militer (Kodam). Hal tersebut menunjukkan lemahnya pertahanan negara untuk menjaga wilayahnya yang dapat berakibat terancamnya wilayah tersebut oleh negara lain yang berujung pada sengketa perbatasan wilayah. Termasuk juga berbagai kendala-kendala yang dihadapi seperti yang telah diuraikan di atas. Oleh karena itu, proses pembenahan harus segera dilakukan guna mewujudkan dan mempertahankan seluruh wilayah NKRI sebagai upaya mencapai fungsi pertahanan negara.

Daftar Pustaka
Soemiarno, Slamet, dkk. MPKT, Buku Ajar III, Bangsa, Budaya dan Lingkungan Hidup. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia, 2009.

KAITAN MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK INDIVIDU, SOSIAL, DAN BUDAYA TERHADAP MULTIKULTURALISME

Individu berasal dari bahasa latin, ‘individuum’ yang berarti ‘yang tidak terbagi’. Jadi merupakan sebutan yang dipakai untuk menyatakan kesatuan yang paling kecil dan terbatas. Individu bukan berarti manusia sebagai suatu keseluruhan yang tidak dapat dibagi, melainkan sebagai kesatuan yang terbatas, yakni sebagai manusia perseorangan. Individu tidak hanya memilki peranan yang khas dalam lingkungan sosialnya,  akan tetapi juga memiliki kepribadian serta pola tingkah laku spesifiknya. Tiga aspek yang melekat pada diri individu yaitu aspek organik jasmaniah, psikis rohaniah, dan sosial. Proses peningkatan ciri-ciri individualitas pada seseorang disebut proses individualisasi atau aktualisasi diri. Dalam tingkah laku individu menurut pola pribadinya memiliki tiga kemungkinan: pertama menyimpang dari norma kolektif kehilangan individualitas, kedua takluk terhadap kolektif, dan ketiga mempengaruhi masyarakat (Hartomo, 2004:64). Dipahami bahwa manusia adalah makhluk individu yang tidak hanya keseluruhan jiwa-raga, tetapi juga pribadi yang khas sesuai corak kepribadian dan kecakapannya.
Identitas individu tidak akan jelas tanpa adanya suatu masyarakat yang menjadi latar keberadaannya serta dapat dipahaminya individu seseorang. Individu tidak mampu berdiri sendiri, akan tetapi hidup berdampingan dengan antarsesama individu, oleh karena itu di dalam hidup manusia selalu mengadakan kontak dengan yang lain, sehingga menjadikan manusia sebagai makhluk sosial yang hidup dalam masyarakat. Kelompok sosial yang merupakan awal kehidupan manusia individu adalah keluarga. Antara individu dan kelompok terdapat hubungan timbal balik dan hubungan yang erat yang merupakan hubungan fungsional. Apabila manusia dalam tindakannya menjurus pada kepentingan pribadi, maka disebut manusia sebagai makhluk individu. Sedangkan, apabila tindakannya merupakan hubungan dengan manusia lainnya, maka manusia itu sebagai makhluk sosial. Selama proses perkembangan manusia menjadi individu, manusia mengalami dirinya dibebani dengan peranan-peranan, yang berasal dari kondisi kebersamaan hidup dengan sesama manusia yang disebut sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, terdapat kecenderungan untuk saling membutuhkan sehingga berakibat pada munculnya suatu struktur antarhubungan yang beraneka ragam. Keragaman itu berbentuk kelompok. Apabila kelompok-kelompok mengadakan persekutuan dalam lingkup yang besar, maka akan terbentuk “masyarakat.” Beberapa faktor yang menyebabkan manusia untuk hidup bermasyarakat, diantaranya.
1.    Adanya dorongan seksual
2.    Adanya kenyataan bahwa manusia itu “serba tidak dapat" atau “sebagai makhluk lemah”
3.    Terjadinya “habit” pada tiap-tiap diri manusia
4.    Adanya kesamaan keturunan, teritorial, nasib, keyakinan, cita-cita, kebudayaan, dan lain sebagainya.
Manusia sebagai individu, bertindak dan bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri, sedangkan sebagai makhluk sosial harus bertindak sesuai dengan pola masyarakat dan bertanggung jawab serta mempertanggung jawabkan perbuatannya pada masyarakat.
Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang tertinggi, tentunya disamping memiliki ciri-ciri sebagaimana makhluk hidup, manusia juga mempunyai akal yang dapat memperhitungkan tindakannya melalui proses belajar yang terus-menerus. Disamping itu, manusia juga dikatakan sebagai makhluk budaya, yang diartikan sebagai makhluk yang memiliki pikiran atau akal  budi. Dalam lingkup yang lebih luas, kelompok manusia atau masyarakat memiliki kebudayaan yang beragam, karena mereka berpikir dan mangalami proses belajar dalam berinteraksi serta menyesuaikan diri dengan lingkungan dan kebutuhan masing-masing. Dalam konteks individual, manusia adalah makhluk budaya yang unik, sebab makhluk hidup yang satu dengan lainnya berbeda dalam hal berperilaku, mencipta, dan mengekspresikan simbol-simbol.
Suatu identitas sebagai individu yang khusus timbul karena adanya ciri-ciri watak seorang individu yang mencerminkan sebuah kepribadian. Isi kepribadian manusia itu sendiri terdiri atas:1) pengetahuan; 2) perasaan dan; 3) dorongan naluri. Pengetahuan terkandung dalam otak manusia dan merupakan unsur yang mengisi akal secara sadar. Kesadaran manusia juga diisi oleh perasaan. Perasaan sesuatu hal, misalnya rasa suka pada tarian, tiada lain merupakan pengaruh dari pengetahuan yang telah  disosialisasikan pada dirinya melalui proses belajar kebudayaan. Tindakan-tindakan yang harus dilakukan manusia budaya yang berakal budi harus memiliki aturan-aturan yang perlu ditaati sebagai pedoman hidup bersama. Aturan perilaku tersebut adalah sebuah nilai yang penting dan berharga oleh suatu masyarakat yang dinamakan sebagai nilai budaya. Nilai budaya dalam masyarakat yang satu akan berbeda dengan nilai budaya masyarakat di wilayah yang lain. Perbedaan terjadi karena berbedanya cara pandang, tergantung masyarakat memandang pedoman hidup itu bernilai atau tidak ditunjukkan dengan penundukkan diri pada nilai budaya. Nilai budaya menjiwai seluruh pedoman yang mengatur tingkah laku masyarakat bersangkutan, mencakup adat istiadat, sistem norma, etika atau moral, sopan santun, pandangan hidup, ideologi, dan lain sebagainya.
Pada masyarakat Indonesia yang agraris memiliki nilai budaya kebersamaan atau komunalistik, yang melahirkan nilai gotong-royong, musyawarah, mufakat, dan lain-lain. Jelas terlihat berbeda dengan masyarakat Eropa sebagai negara industri, yang memiliki nilai kemandirian dan individualistik. Nilai-nilai budaya tersebut adalah suatu sistem nilai budaya masyarakat. Sistem nilai budaya juga dipengaruhi oleh nilai agama atau spiritual yang merupakan nilai yang hidup, dianut, dan didukung oleh masyarakatnya sebagai suatu nilai budaya. Dengan demikian, sistem nilai budaya merupakan bagian dari sebuah kebudayaan yang paling abstrak, paling “dalam”, dan sangat sukar untuk diubah.
Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Multikulturalisme gabungan dua kata, “multi” yang berarti banyak dan “kulturalisme” yang berarti faham tentang kebudayaan. Multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan, dan penilaian atas budaya seseorang, serta suatu penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain (Lawrence Blum, dikutip Lubis, 2006:174). Sehingga dapat diartikan sebagai pandangan atau pemikiran yang mendalam tentang perihal kebudayaan yang banyak. Multikulturalisme dipandang sebagai hubungan antarbudaya yang positif umumnya yang dapat mengatasi masalah dalam masyarakat plural tersebut. Interaksi antarbudaya ditandai dengan usaha mencapai saling pengertian, saling menerima keberagaman, kepentingan bersama, hidup berdampingan, kesetaraan, harmoni, saling keterkaitan, dan saling hormat masing-masing budaya.
Manusia di muka bumi ini dimana pun berada merupakan makhluk individu sekaligus makhluk sosial yang tidak lepas dari ketergantungan antarsesama. Hal inilah yang kemudian menggolongkan manusia-manusia dalam sebuah kelompok-kelompok dan membentuk sesuatu yang dinamakan masyarakat. Berawal dari kondisi di masyarakat, manusia memiliki berbagai macam individualitas yang secara kolektif menimbulkan keseragaman paham, pandangan, termasuk ideologi yang mencakup tuntunan masyarakat dan diakui sehingga mengakar pada masyarakat itu sendiri, termasuk di dalamnya nilai-nilai kebudayaan masyarakat tersebut yang mengindikasikan sebagai manusia berbudaya. Akan tetapi, terdapatnya perbedaan-perbadaan pada tiap masyarakat di dunia ini menjadi sebuah keberagaman yang mendasar karena banyaknya ragam budaya yang ditimbulkan oleh masyarakat-masyarakat yang masing-masing memiliki pandangan yang berbeda. Oleh karena itu, muncul istilah multikultural yang menekankan konsep banyaknya budaya yang berada di dalam masyarakat dunia, dan pandangan terhadap multikultural ini dinamakan multikulturalisme.

Daftar Pustaka
Dewi, R. Ismala, dkk. MPKT, Buku Ajar II, Manusia, Akhlak, Budi Pekerti dan Masyarakat. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia, 2009.
http://www.scripps.ohiou.edu/news/cmdd/artikel_ps.htm

KOMPETISI DITINJAU DARI SUDUT PANDANG PENGERTIAN FILSAFAT

Kemunculan filsafat yang dipandang sebagai dasar berpikirnya manusia adalah tiada lain sebuah anugerah yang diberikan Tuhan kepada setiap manusia. Oleh karena itu, manusia di muka bumi ini dapat melakukan suatu proses yang dinamakan berfilsafat. Berfilsafat itu sendiri berasal dari kata dasar filsafat. Kata filsafat diambil dari bahasa Yunani, yang pada masa Yunani Kuno (abad IV-VI) filsafat telah mulai berkembang dengan pesat. Bila didefinisikan dari asal katanya atau secara etimologis filsafat berasal dari kata philosophia, yaitu merupakan gabungan dari dua kata philos dan sophia. Philos berarti sahabat, cinta, teman, atau kekasih, sedangkan sophia berarti kebijaksanaan, ilmu, pengetahuan, atau kearifan. Dengan demikian, filsafat berarti cinta hal-hal yang sifatnya pengetahuan/kebijaksanaan, atau juga diartikan senang/suka mencari ilmu dan kebenaran ataupun kebijaksanaan.
Berpikir secara filsafat diartikan sebagai berpikir yang sangat mendalam sampai hakikat, atau berpikir secara global/menyeluruh, atau berpikir yang dilihat dari berbagai sudut pandang pemikiran atau sudut pandang ilmu pengetahuan. Berpikir yang demikian ini sebagai upaya untuk dapat berpikir secara tepat dan benar serta dapat dipertanggungjawabkan.­
Orang pertama yang menggunakan istilah philosophia adalah Pythagoras. Dengan proses filosofis menjadikan filsafat melahirkan suatu ilmu melalui teori-teori kajian sehingga filsafat dapat disebut sebagai induk segala ilmu pengetahuan (mater scientiarum). Filsafat juga bersifat priori, yang berarti kesimpulan ditarik tanpa pengujian tetapi pemikiran dan perenungan. Beberapa definisi filsafat dari berbagai tokoh filsuf, diantaranya:
·      Phytagoras (572-497 SM) philosopia berarti pecinta kebijaksanaan (lover of wisdom) bukan kebijaksanaan itu sendiri.
·      Plato (427-347 SM) mengartikannya sebagai ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang hakiki lewat dialektika.
·      Aristoteles (382–322 SM) mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan tentang kebenaran.
·      Al-Farabi (870–950 ) mengartikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan hakekat alam yang sebenarnya.
·      Descartes (1590–1650) mendefinisikan filsafat sebagai kumpulan ilmu pengetahuan tentang tuhan, alam dan manusia.
·      Immanuel Kant (1724–1804) mendefinisikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan.
·      Merriam-Webster dalam kamusnya filsafat adalah literally the love of wisdom, in the actual usage, the science that investigates the most general facts and prinsciplesof reality and human nature and conduct: logic, ethics, aesthetics and the theory of knowledge.
Dari berbagai definisi yang dikemukakan di atas maka dapat disimpulkan bahwa filsafat merupakan ilmu yang mempelajari tentang bagaimana hakikat kebenaran segala sesuatunya.
Menurut Deaux, Dane, & Wrightsman (1993), kompetisi adalah aktivitas mencapai tujuan dengan cara mengalahkan orang lain atau kelompok. Individu atau kelompok memilih untuk bekerja sama atau berkompetisi tergantung dari struktur reward dalam suatu situasi.
Menurut Chaplin (1999), kompetisi adalah saling mengatasi dan berjuang antara dua individu, atau antara beberapa kelompok untuk memperebutkan objek yang sama.
Sebuah kompetisi dapat muncul dalam segala bidang hal. Dua orang anak bersaudara yang saling memperebutkan makanan yang mana keduanya sama-sama saling menginginkan barang yang sama tersebut, juga perebutan kekuasaan kepala negara maupun perebutan kursi di DPR adalah contoh dari sebuah kompetisi, mulai dari yang sederhana hingga pada hal persaingan yang serius yang sangat kompetitif. Tentu hal-hal demikian mengakibatkan persaingan demi mendapatkan tujuan yang diinginkan dan yang akan dicapai tersebut dengan menggunakan berbagai macam cara. Pada saat itulah secara otomatis muncul hasrat untuk saling (resiprok) mengalahkan di antaranya.
Terdapatnya makna filsafat di dalam sebuah kompetisi yaitu menafsirkan bagaimana sebuah kebenaran yang hakiki yang mencari kenyataan kebenaran dari semua problem karena filsafat mengkaji gejala fenomena kehidupan manusia, termasuk pemikiran manusia yang kritis. Sehingga filsafat menciptakan pemikiran-pemikiran kritis yang mendasar dari sebuah tindakan. Filsafat memainkan peranan mengajarkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan manusia sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk individu, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan untuk diaplikasikan dalam hidup, dimana tidak menutup kemungkinan manusia saling berkompetisi disamping bekerjasama. Kompetisi merupakan perwujudan tindakan-tindakan serta prilaku. Bagaimana seseorang bersikap dan bertingkah laku adalah implikasi dari makna filsafat yang bertujuan menjadikan manusia yang susila yang merupakan sebuah nilai kebenaran.

Daftar Pustaka
Achmadi, Asmoro. Filsafat Umum. Jakarta: Rajawali Pers, 2009
Meliono, Irmayanti, dkk. MPKT, Buku Ajar I, Logika, Filsafat Ilmu, dan         Pancasila. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia, 2009.