Thomas R. Dye memberikan definisi
mengenai kebijakan publik (public policy) yakni apapun yang dipilih
pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan (whatever government choose to do or not to do). Pemerintah dapat
melakukan banyak hal lewat proses pengambilan kebijaksanaan. Pemerintah dapat
mengatur konflik yang terjadi dalam masyarakat dan menata birokrasi untuk
melaksankan konflik tersebut. Dengan demikian, public policy mengatur banyak hal mulai dari mengatur perilaku,
mengorganisasikan birokrasi, mendistribusikan penghargaan sampai pula penarikan
pajak-pajak dari anggota masyarakat.[1]
Pembuatan kebijakan publik merupakan fungsi penting dari sebuah pemerintahan.
Karenanya, kemampuan dan pemahaman yang memadai dari pembuat kebijakan terhadap
proses pembuatan kebijakan menjadi sangat penting bagi terwujudnya kebijakan
publik yang cepat, tepat dan memadai.
Para sarjana ilmu politik biasanya
mengajukan tiga kemungkinan elit politik yang membuat keputusan politik, yaitu
elit formal, orang yang berpengaruh, dan penguasa. Elit formal ialah elit
politik yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat keputusan.
Orang yang berpengaruh (the influential)
ialah orang-orang yang karena memiliki sumber-sumber kekuasaan, seperti
kekayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi, senjata, dan massa terorganisasi yang
mampu mempengaruhi elit formal sehingga yang terakhir ini membuat keputusan
sesuai dengan kehendak orang yang berpengaruh. Selanjutnya, yang dimaksud
dengan penguasa ialah orang yang secara nyata membuat keputusan. Elit formal
atau orang berpengaruh dapat menjadi penguasa.[2]
Policy
makers
merupakan aktor penting dalam proses kebijakan, khususnya formulasi kebijakan.
Para aktor masing-masing mempunyai karakteristik yang menunjukkan kekuatannya
mempengaruhi proses kebijakan. Jika direfleksikan dengan kondisi Indonesia,
maka para aktor yang dapat digolongkan sebagai pembuat kebijakan diantaranya
yaitu lembaga kepresidenan. Lembaga ini terdiri atas Presiden, Wakil Presiden, Kabinet,
serta pejabat teras lainnya di kantor kepresidenan. Lembaga kepresidenan sangat
penting dalam proses kebijakan karena mempunyai struktur yang kuat dalam
melakukan rekrutmen para policy maker
yang berasal dari lingkaran eksekutif. Di samping itu, terdapat pula Dewan
Perwakilan Rakyat, yaitu lembaga yang menentukan rancangan kebijakan.[3]
Dengan demikian, secara sederhana dapat dipahami bahwa formulasi kebijakan
dilakukan oleh para politisi yang memegang jabatan politik di pemerintahan,
yakni legislator maupun pejabat-pejabat yang menduduki jabatan politik di
eksekutif.
Suatu kebijakan yang telah
diformulasikan atau ditetapkan oleh para policy
makers harus diimplementasikan dalam kehidupan yang nyata. Hal ini
menunjukkan bahwa salah satu fungsi pemerintahan adalah fungsi penerapan
peraturan yang mencakupi pelaksanaan peraturan sebagai aturan berperilaku, dan
pembuatan keputusan yang besifat penjabaran. Itulah salah satu fungsi yang
dijalankan birokrasi sebagai bagian dari struktur eksekutif. Birokrasi
merupakan organisasi berskala besar yang merupakan mesin penggerak pelaksanaan
pemerintahan. Dari sudut bahasa, birokrasi berasal dari kata “biro” (bureau) yang berarti kantor ataupun
dinas, dan kata “krasi” (cracy, kratie)
yang berarti pemerintahan. Dengan demikian, dari sudut ini, birokrasi berarti
dinas pemerintahan.[4]
Berkaitan dengan pengertian dan posisi
birokrasi dalam kepentingan negara, Greenberg, seperti dikutip Arief Budiman,
menuturkan bahwa birokrasi itu netral dan hanya mengikuti aturan yang sudah
ada. Para birokrat sekadar merupakan mesin negara. Hanya saja dalam praktiknya
birokrasi memiliki kekuatan dan kemandiriannya sendiri, yang bisa memengaruhi
kebijakan sebuah organisasi, termasuk organisasi yang bernama negara. Oleh
karena itu, public policy tidak dapat
dipisahkan dengan birokrasi.
Fungsi utama birokrasi sebagai pelayan
masyarakat dan bersentuhan langsung dengan masyarakat inilah yang menyebabkan
birokrasi sebagai pihak yang paling tahu dan paling memahami apa yang telah
menjadi masalah dan tuntutan keinginan masyarakat yang dinamis. Karena
birokrasi adalah pihak yang paling tahu dan memiliki kelebihan dalam
menganalisis apa yang diperlukan atau menjadi tuntutan masyarakat (public
interest), birokrasi terkadang menghadapi situasi dimana kebijakan tidak
dapat mengakomodir keinginan masyarakat, atau bahkan bertentangan dengan
kemauan masyarakat.
Netralitas birokrasi bukanlah diartikan sebagai
kerja pejabatnya yang kaku terhadap aturan-aturan hirarkis dalam melaksanakan
kebijakan karena pada kenyataannya kebijakan terkadang tidak terlepas dari
kepentingan-kepentingan politis, akan tetapi birokrasi dalam memberikan
pelayanan berdasarkan profesionalisme bukan karena kepentingan politik, dimana
ia harus mampu menjadi penerjemah apa yang dinginkan dan diperlukan oleh
rakyat. Ketika birokrasi dihadapkan pada situasi dimana kebijakan tidak lagi
merupakan akomodasi dari keinginan atau kebutuhan rakyat ia harus mampu
mengkomunikasikan kepada pejabat pembuat kebijakan dan harus berani
memperjuangkan pendiriannya selama ia berdiri di atas kepentingan rakyat, untuk
inilah harus diciptakan garis tegas yang memutus kooptasi parpol terhadap
birokrasi.
Dalam masyarakat yang sudah berkembang,
pada umumnya penguasa-penguasa politik mendelegasikan urusan-urusan perencanaan
dan pelaksanaan policy pada
birokrasi, sedangkan penguasa-penguasa tersebut memusatkan perhatiannya pada
urusan pemilihan kebijaksanaan. Selain itu, oleh karena berdasarkan latar
belakang bahwa birokrasi-birokrasi itu mempunyai keahlian teknis dan
profesional yang tinggi, maka penguasa-pengusa politik tersebut sebagian besar
menggantungkan perencanaan dan pelaksanaan policy
pada infrastuktur birokrasi. Dengan demikian, pembuat kebijakan dan
birokrat sebagai implementator kebijakan memiliki relasi yang saling berkaitan
satu sama lain di dalam proses penyelenggaraan pemerintahan.
Terlepas dari kaitan di atas, Max Weber
telah mendeskripsikan sejumlah karakteristik birokrasi dari perspektif tipe
ideal (tipologik), antara lain sebagai berikut.[5]
1.
Birokrasi
menekankan pembagian kerja dengan spesialisasi peranan yang jelas.
2.
Birokrasi
atau organisasi jabatan ini mengikuti prinsip hierarki kontrol.
3.
Kegiatan
birokrasi ini dilakukan berdasarkan sistem aturan abstrak yang konsisten dan
terdiri atas penerapan aturan-aturan ini ke dalam kasus-kasus yang khusus.
4.
Organisasi
jabatan ini menekankan keharusan untuk dapat bekerja dengan penuh dan diiringi
dengan penerimaan gaji.
5.
Organisasi
ini memungkinkan adanya ruang bagi promosi jabatan atau perjenjangan karier
didasarkan pada kemampuan, senioritas dan campuran di antara keduanya.
6.
Organisasi
administrasi yang bertipe birokratis dari segi pandangan teknis murni cenderung
lebih mampu mencapai tingkat efisiensi yang lebih tinggi.
Berbeda dengan Weber yang memandang wujud
birokrasi sebatas sebuah mesin pelaksana untuk mencapai tujuan dalam hal ini
tujuan kebijakan, Hegel dan Marx memandang birokrasi dari sudut pandang
politis. Birokrasi menurut Hegel merupakan suatu jembatan yang menghubungkan
antara negara (pemerintah) dengan masyarakatnya. Birokrasi dikatakan sebagai
medium penghubung antara berbagai kepentingan tertentu dari kelompok-kelompok
masyarakat dengan kepentingan general/umum. Jika Hegel melihat birokrasi sebagai wujud
yang netral dari kekuatan politik, Marx menganggap birokrasi pemerintah sangat
kuat memihak terhadap kepentingan politik yang sedang berkuasa pada saat itu.
[1] Miftah Thoha, Ilmu Administrasi Publik Kontemporer, Jakarta:
Prenada Media
Group, 2008,
hlm. 107-108.
[2] Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia, 1992, hlm. 202.
[3] Solahuddin Kusumanegara, Model dan Aktor Dalam Proses Kebijakan
Publik, Yogyakarta: Gava Media, 2010, hlm. 53-54.
[4] A. A. Sahid Gatara, Ilmu Politik (Memahami dan Menerapkan),
Bandung: Pustaka Setia, 2008, hlm. 149.
[5] Ibid, hlm. 151.
hai ka terimakasih artikel di blog ini sangat membantu
BalasHapus