Senin, 30 April 2012

Policy Makers-Bureaucracy Relations


Thomas R. Dye memberikan definisi mengenai kebijakan  publik (public policy) yakni apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan (whatever government choose to do or not to do). Pemerintah dapat melakukan banyak hal lewat proses pengambilan kebijaksanaan. Pemerintah dapat mengatur konflik yang terjadi dalam masyarakat dan menata birokrasi untuk melaksankan konflik tersebut. Dengan demikian, public policy mengatur banyak hal mulai dari mengatur perilaku, mengorganisasikan birokrasi, mendistribusikan penghargaan sampai pula penarikan pajak-pajak dari anggota masyarakat.[1] Pembuatan kebijakan publik merupakan fungsi penting dari sebuah pemerintahan. Karenanya, kemampuan dan pemahaman yang memadai dari pembuat kebijakan terhadap proses pembuatan kebijakan menjadi sangat penting bagi terwujudnya kebijakan publik yang cepat, tepat dan memadai.

Para sarjana ilmu politik biasanya mengajukan tiga kemungkinan elit politik yang membuat keputusan politik, yaitu elit formal, orang yang berpengaruh, dan penguasa. Elit formal ialah elit politik yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat keputusan. Orang yang berpengaruh (the influential) ialah orang-orang yang karena memiliki sumber-sumber kekuasaan, seperti kekayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi, senjata, dan massa terorganisasi yang mampu mempengaruhi elit formal sehingga yang terakhir ini membuat keputusan sesuai dengan kehendak orang yang berpengaruh. Selanjutnya, yang dimaksud dengan penguasa ialah orang yang secara nyata membuat keputusan. Elit formal atau orang berpengaruh dapat menjadi penguasa.[2] 
Policy makers merupakan aktor penting dalam proses kebijakan, khususnya formulasi kebijakan. Para aktor masing-masing mempunyai karakteristik yang menunjukkan kekuatannya mempengaruhi proses kebijakan. Jika direfleksikan dengan kondisi Indonesia, maka para aktor yang dapat digolongkan sebagai pembuat kebijakan diantaranya yaitu lembaga kepresidenan. Lembaga ini terdiri atas Presiden, Wakil Presiden, Kabinet, serta pejabat teras lainnya di kantor kepresidenan. Lembaga kepresidenan sangat penting dalam proses kebijakan karena mempunyai struktur yang kuat dalam melakukan rekrutmen para policy maker yang berasal dari lingkaran eksekutif. Di samping itu, terdapat pula Dewan Perwakilan Rakyat, yaitu lembaga yang menentukan rancangan kebijakan.[3] Dengan demikian, secara sederhana dapat dipahami bahwa formulasi kebijakan dilakukan oleh para politisi yang memegang jabatan politik di pemerintahan, yakni legislator maupun pejabat-pejabat yang menduduki jabatan politik di eksekutif.
Suatu kebijakan yang telah diformulasikan atau ditetapkan oleh para policy makers harus diimplementasikan dalam kehidupan yang nyata. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu fungsi pemerintahan adalah fungsi penerapan peraturan yang mencakupi pelaksanaan peraturan sebagai aturan berperilaku, dan pembuatan keputusan yang besifat penjabaran. Itulah salah satu fungsi yang dijalankan birokrasi sebagai bagian dari struktur eksekutif. Birokrasi merupakan organisasi berskala besar yang merupakan mesin penggerak pelaksanaan pemerintahan. Dari sudut bahasa, birokrasi berasal dari kata “biro” (bureau) yang berarti kantor ataupun dinas, dan kata “krasi” (cracy, kratie) yang berarti pemerintahan. Dengan demikian, dari sudut ini, birokrasi berarti dinas pemerintahan.[4]
Berkaitan dengan pengertian dan posisi birokrasi dalam kepentingan negara, Greenberg, seperti dikutip Arief Budiman, menuturkan bahwa birokrasi itu netral dan hanya mengikuti aturan yang sudah ada. Para birokrat sekadar merupakan mesin negara. Hanya saja dalam praktiknya birokrasi memiliki kekuatan dan kemandiriannya sendiri, yang bisa memengaruhi kebijakan sebuah organisasi, termasuk organisasi yang bernama negara. Oleh karena itu, public policy tidak dapat dipisahkan dengan birokrasi.
Fungsi utama birokrasi sebagai pelayan masyarakat dan bersentuhan langsung dengan masyarakat inilah yang menyebabkan birokrasi sebagai pihak yang paling tahu dan paling memahami apa yang telah menjadi masalah dan tuntutan keinginan masyarakat yang dinamis. Karena birokrasi adalah pihak yang paling tahu dan memiliki kelebihan dalam menganalisis apa yang diperlukan atau menjadi tuntutan masyarakat (public interest), birokrasi terkadang menghadapi situasi dimana kebijakan tidak dapat mengakomodir keinginan masyarakat, atau bahkan bertentangan dengan kemauan masyarakat.
Netralitas birokrasi bukanlah diartikan sebagai kerja pejabatnya yang kaku terhadap aturan-aturan hirarkis dalam melaksanakan kebijakan karena pada kenyataannya kebijakan terkadang tidak terlepas dari kepentingan-kepentingan politis, akan tetapi birokrasi dalam memberikan pelayanan berdasarkan profesionalisme bukan karena kepentingan politik, dimana ia harus mampu menjadi penerjemah apa yang dinginkan dan diperlukan oleh rakyat. Ketika birokrasi dihadapkan pada situasi dimana kebijakan tidak lagi merupakan akomodasi dari keinginan atau kebutuhan rakyat ia harus mampu mengkomunikasikan kepada pejabat pembuat kebijakan dan harus berani memperjuangkan pendiriannya selama ia berdiri di atas kepentingan rakyat, untuk inilah harus diciptakan garis tegas yang memutus kooptasi parpol terhadap birokrasi.
Dalam masyarakat yang sudah berkembang, pada umumnya penguasa-penguasa politik mendelegasikan urusan-urusan perencanaan dan pelaksanaan policy pada birokrasi, sedangkan penguasa-penguasa tersebut memusatkan perhatiannya pada urusan pemilihan kebijaksanaan. Selain itu, oleh karena berdasarkan latar belakang bahwa birokrasi-birokrasi itu mempunyai keahlian teknis dan profesional yang tinggi, maka penguasa-pengusa politik tersebut sebagian besar menggantungkan perencanaan dan pelaksanaan policy pada infrastuktur birokrasi. Dengan demikian, pembuat kebijakan dan birokrat sebagai implementator kebijakan memiliki relasi yang saling berkaitan satu sama lain di dalam proses penyelenggaraan pemerintahan.
Terlepas dari kaitan di atas, Max Weber telah mendeskripsikan sejumlah karakteristik birokrasi dari perspektif tipe ideal (tipologik), antara lain sebagai berikut.[5]
1.    Birokrasi menekankan pembagian kerja dengan spesialisasi peranan yang jelas.
2.    Birokrasi atau organisasi jabatan ini mengikuti prinsip hierarki kontrol.
3.    Kegiatan birokrasi ini dilakukan berdasarkan sistem aturan abstrak yang konsisten dan terdiri atas penerapan aturan-aturan ini ke dalam kasus-kasus yang khusus.
4.    Organisasi jabatan ini menekankan keharusan untuk dapat bekerja dengan penuh dan diiringi dengan penerimaan gaji.
5.    Organisasi ini memungkinkan adanya ruang bagi promosi jabatan atau perjenjangan karier didasarkan pada kemampuan, senioritas dan campuran di antara keduanya.
6.    Organisasi administrasi yang bertipe birokratis dari segi pandangan teknis murni cenderung lebih mampu mencapai tingkat efisiensi yang lebih tinggi. 
Berbeda dengan Weber yang memandang wujud birokrasi sebatas sebuah mesin pelaksana untuk mencapai tujuan dalam hal ini tujuan kebijakan, Hegel dan Marx memandang birokrasi dari sudut pandang politis. Birokrasi menurut Hegel merupakan suatu jembatan yang menghubungkan antara negara (pemerintah) dengan masyarakatnya. Birokrasi dikatakan sebagai medium penghubung antara berbagai kepentingan tertentu dari kelompok-kelompok masyarakat dengan kepentingan general/umum. Jika Hegel melihat birokrasi sebagai wujud yang netral dari kekuatan politik, Marx menganggap birokrasi pemerintah sangat kuat memihak terhadap kepentingan politik yang sedang berkuasa pada saat itu.


[1] Miftah Thoha, Ilmu Administrasi Publik Kontemporer, Jakarta: Prenada Media Group, 2008, hlm. 107-108.
[2] Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992, hlm. 202.
[3] Solahuddin Kusumanegara, Model dan Aktor Dalam Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta: Gava Media, 2010, hlm. 53-54.
[4] A. A. Sahid Gatara, Ilmu Politik (Memahami dan Menerapkan), Bandung: Pustaka Setia, 2008, hlm. 149.
[5] Ibid, hlm. 151.

1 komentar: