Senin, 30 April 2012

State-Society Relations


Masyarakat adalah keseluruhan antara hubungan-hubungan antarmanusia. Robert M. Mclver mengatakan: “masyarakat adalah suatu sistem hubungan-hubungan yang ditata (society means a system of ordered relations). Biasanya anggota-anggota masyarakat menghuni suatu wilayah geografis yang mempunyai kebudayaan-kebudayaan dan lembaga-lembaga yang kira-kira sama. Masyarakat dapat menunjuk pada masyarakat kecil, misalnya kelompok etnis, atau suatu masyarakat yang lebih luas nation state seperti masyarakat Indonesia. Dalam masyarakat seperti ini anggota masyarakat dapat berinteraksi satu sama lain karena faktor budaya dan faktor agama, dan/atau etnis.[1]   

Sehubungan dengan konteks negara, keberadaan masyarakat/rakyat tidak dapat dipisahkan dari negara karena masyarakat merupakan salah satu unsur yang membentuk suatu negara. Artinya, negara terdiri atas beberapa unsur yang salah satunya masyarakat, di samping terdapatnya wilayah, pemerintah, serta kedaulatan. Menurut Harold J. Laski, negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat. Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang hidup dan bekerja sama untuk memenuhi terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama. Masyarakat merupakan negara kalau cara hidup yang harus ditaati baik oleh individu maupun oleh asosiasi-asosiasi ditentukan oleh suatu wewenang yang bersifat memaksa dan mengikat.[2] 
Berdasarkan penjelasan sebelumnya maka dapat dipahami bahwa antara masyarakat dan negara memiliki keterkaitan, dimana hal ini dapat dilihat dari sudut asal mulanya. Negara tidak berdiri secara tiba-tiba, melainkan melalui proses. Setidaknya terdapat dua mainstream pendekatan yang menjelaskan bagaimana asal mula negara tersebut. Pertama, pendekatan faktual. Pendekatan ini didasarkan pada kenyataan yang benar-benar terjadi, yang dapat ditelusuri dari pengalaman dan sejarah. Kedua, pendekatan teoretis. Pendekatan ini didasarkan pada penggunaan metode falsafah, yaitu membuat dugaan-dugaan berdasarkan kerangka pemikiran yang logis.[3]
Salah satu teori yang dapat dikaji dari pendekatan teoretis adalah teori perjanjian masyarakat (social contract). Teori ini bertitik tolak pada anggapan bahwa sebelum ada negara, manusia hidup sendiri-sendiri, dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Pada waktu itu belum ada masyarakat, dan belum ada peratuaran apapun juga, sehingga kehidupan masyarakat kacau balau. Dalam keadaan demikian, manusia dengan anugerah akal yang dimilikinya melakukan perkumpulan untuk membuat sebuah permufakatan bersama dalam rangka saling memelihara keselamatan hidup dan kepemilikan harta. Permufakatan demikian sering disebut dengan “Perjanjian Masyarakat” (“Social Contract”). Salah satu permufakatan bersama itu adalah pendirian “organisasi kekuasaan bersama”, yakni sebuah negara. Perjanjian antarkelompok masyarakat atau manusia yang melahirkan negara disebut pactum unionis. Sementara perjanjian antarkelompok masyarakat dan penguasa yang di angkat dalam perjanjian pertama, pactum unionis, disebut pactum subjectionis. Isi pactum subjectionis adalah pernyataan manusia untuk menyerahkan hak-haknya (hak-hak yang diberikan alam) kepada penguasa dan berjanji akan taat kepadanya. Dengan demikian, permufakatan atau perjanjian tersebut melahirkan sejumlah hak dan kewajiban antara individu atau kelompok individu (masyarakat) dengan negara di satu sisi, dan antara individu dengan individu atau kelompok individu di sisi lain.     
Thomas Hobbes adalah tokoh utama yang menekankan hal “pactum subjectionis”, bahwa dengan kesepakatan membentuk negara, rakyat menyerahkan semua hak mereka secara ilmiah (sebelum adanya negara), untuk diatur sepenuhnya oleh kekuasaan negara. Berbeda dengan Hobbes, John Locke justru mengakui kedua pactum, “pactum unionis” dan “pactum subjectionis”. Bahwa sebagian besar (mayoritas) anggota suatu masyarakat membentuk persatuan (union) dahulu, baru kemudian anggota masyarakat menjadi kawula (subjek) negara. Dalam hal ini, negara tidak berkuasa secara absolut (mutlak) seperti pendapat Hobbes. Tetap ada bagian yang berada pada masing-masing orang, yaitu hak asasi. Sementara itu, J.J. Rousseau menulis bahwa hanya ada “pactum unionis” yaitu suatu perjanjian atau kesepakatan untuk membentuk negara, tetapi bukan sekaligus berarti menyerahkan hak tiap-tiap orang untuk diatur oleh negara. Justru rakyat yang memilih wakil-wakilnya, serta menyusun aparatur pmerintah. Selanjutnya, Rousseau menyatakan bahwa negara yang dibentuk oleh perjanjian masyarakat itu harus menjamin kebebasan dan persamaan. Penguasa hanya sebagai wakil rakyat yang dibentuk berdasarkan kehendak rakyat (“volonte general”).[4]
Dalam pergaulannya, manusia selalu mengalami perkembangan dan kemajuan seiring dengan pertentangan-pertentangannya. Manusia yang satu pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dari manusia lainnya. Namun, dalam realitasnya pergaulan ini selalu menimbulkan kontradiksi di dalam struktur masyarakat yang berkaitan dengan kepentingan mereka masing-masing. Oleh karenanya, mereka membutuhkan hukum atau aturan untuk mengatur tingkah laku mereka. Hingga pada titik tertentu, masyarakat tersebut membutuhkan sebuah negara sebagai alat untuk melindungi kepentingannya.
Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik, menjadi alat masyarakat yang memiliki kewenangan untuk mengatur hubungan manusia dalam masyarakat. Dalam kerangka tersebut, negara yang terbentuk memiliki relasi yang dapat dikatakan bersifat timbal-balik dengan masyarakat. Sebagai wujud penyelenggaraan pemerintahan, negara diserahi mandat oleh masyarakat dengan memberikan hak-haknya kepada negara. Oleh karena itu, negara selanjutnya memikul suatu kewajiban yang tiada lain merupakan sejumlah fungsi dan tujuan yang harus dicapai.
Setiap negara memiliki tujuan-tujuan tertentu. Apa yang menjadi tujuan bagi suatu negara, ke arah mana suatu organisasi negara ditujukan merupakan masalah penting sebab tujuan inilah yang akan menjadi pedoman betapa negara disusun dan dikendalikan dan bagaimana kehidupan rakyatnya diatur sesuai dengan tujuan tersebut. Hakikat daripada negara ialah sebagai wadah bangsa untuk mencapai cita-cita atau tujuan bangsanya. Sementara tujuan dari adanya negara menurut Immanuel Kant adalah menjunjung tinggi hak dan kebebasan warganya, yang berarti negara harus menjamin kedudukan hukum individu dalam negara itu. Dengan demikian setiap warga negara mempunyai kedudukan hukum yang sama dan tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang oleh penguasa.
Tujuan dan fungsi negara mempunyai hubungan yang timbal balik dan tidak dapat dipisahkan. Tujuan negara adalah suatu harapan atau cita-cita yang hendak dicapai oleh negara, sedangkan fungsi negara adalah upaya atau kegiatan negara untuk mengubah harapan atau cita-cita negara menjadi kenyataan. Secara umum, tujuan terakhir setiap negara ialah menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya (bonum poblicum, common good, common wealth). Tujuan kebahagiaan tersebut pada garis besarnya dapat disederhanakan dalam dua hal pokok, yaitu 1) keamanan dan keselamatan (security and safety); dan 2) kesejahteraan dan kemakmuran (welfare and prosperity). Sebagai contoh, tujuan negara Republik Indonesia dapat dilihat dalam pembukaan UUD 1945 yang menyatakan: “Untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.” 
Kemudian, terlepas dari ragam tujuan negara, negara menyelenggarakan empat fungsi utama, yakni:
1.    Melaksanakan penertiban (law and order), untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat, negara harus melaksanakan penertiban. Dalam hal ini, negara dapat dikatakan berfungsi sebagai “stabilisator”.
2.    Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Dewasa ini fungsi ini sangat penting, terutama bagi negara-negara baru.
3.    Pertahanan. Hal ini diperlukan untuk menjaga kemungkinan serangan dari luar. Untuk itu negara dilengkapi dengan alat-alat pertahanan.
4.    Menegakkan keadilan. Hal ini dilaksanakan melalui badan-badan peradilan.    
Keseluruhan fungsi negara di atas diselenggarakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama. Negara merupakan lembaga yang memiliki kekuasaan yang sangat besar dalam sebuah masyarakat dan dapat memaksa kehendak warga atau kelompok yang ada di masyarakat. Bahkan jika dianggap perlu, negara memiliki keabsahan untuk menggunakan kekerasan fisik dalam memaksakan kepatuhan masyarakat terhadap perintah-perintah yang dikeluarkannya. Menurut Arif Budiman, kekuasaan besar ini diperoleh karena negara merupakan pelembagaan yang mewakili kepentingan umum. Oleh karenanya, negara dapat memaksakan kehendaknya melawan kepentingan-kepentingan pribadi, atau kelompok masyarakat yang lebih kecil jumlahnya.


[1] Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008, hlm. 46.
[2] Ibid, hlm. 48
[3] A. A. Sahid Gatara, Ilmu Politik (Memahami dan Menerapkan), Bandung: Pustaka Setia, 2008, hlm. 118.
[4] Ibid, hlm. 123-125.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar