Selasa, 25 Oktober 2011

MODEL KEBIJAKAN PUBLIK


Ada beberapa model yang bisa dipergunakan untuk menjelaskan seluk-beluk proses pembuatan public policy. Model menurut definisi adalah bentuk abstraksi dari suatu kenyataan. Ia merupakan suatu perwakilan yang disederhanakan dari beberapa gejala dunia kenyataan. Model yang dipergunakan dalam public policy ini termasuk golongan model yang konseptual. Model seperti ini berusaha untuk:

1.    Menyederhanakan dan menjelaskan pemikiran-pemikiran tentang politik dan public policy.
2.    Mengidentifikasikan aspek-aspek yang penting dari persoalan-persoalan policy.
3.    Menolong, seseorang untuk berkomunikasi dengan orang-orang lain dengan memusatkan pada aspek-aspek yang esensial dalam kehidupan politik.
4.    Mengarahkan usaha-usaha ke arah pemahaman yang lebih baik mengenai public policy dengan menyarankan hal-hal manakah yang dianggap penting dan yang tidak penting.
5.    Menyarankan penjelasan-penjelasan untuk public policy dan meramalkan akibat-akibatnya.   
Berikut ini pendekatan dan model politik yang digunakan dalam mengamati proses kebijakan publik.
·      Model Kelembagaan (Institution Model): Kebijakan Sebagai Hasil Dari Lembaga
Struktur pemerintahan dan lembaga-lembaga yang ada telah lama menjadi pusat perhatian dari ilmu politik. Secara tradisional, ilmu politik dirumuskan sebagai suatu studi tentang lembaga-lembaga pemerintahan. Public policy adalah ditentukan, dilaksanakan, dan dipaksakan secara otoritatif oleh lembaga-lembaga pemerintahan. Lembaga pemerintah memberikan public policy tiga karakteristik, antara lain:
1.    Pemerintah meminjamkan legitimasi kepada kebijaksanaan (policy). Kebijaksanaan pemerintah dipandang sebagai kewajiban yang legal yang harus dipatuhi oleh semua warga negara.
2.    Sifat universalitas dari kebijakan publik. Kebijakan pemerintah menjangkau semua rakyat dalam suatu masyarakat baik individu maupun kelompok.
3.    Pemerintah memonopoli paksaan dalam masyarakat. Hal ini berarti bahwa pemerintah sah memberi sanksi dan menghukum, menuntut loyalitas dari semua rakyat, dan mengeluarkan policy-policy yang mengatur seluruh  masyarakat.
Pendekatan institusional mempunyai kelemahan-kelemahan diantaranya adalah:
1.        Tidak menjelaskan kaitan antara struktur lembaga pemerintah dengan isi kebijakan publik.
2.        Pendekatan ini hanya menjelaskan mengenai struktur, organisasi,  tugas dan fungsi lembaga-lembaga tertentu tanpa secara sistematis menelaah akibat dari karakteristik kelembagaan dengan hasil kebijakan. Akibatnya, tidak ada hubungan yang jelas antara institusi dengan policy, sehingga pendekatan ini seringkali dianggap tidak penting dan tidak produktif.
3.        Dapat menciptakan bahwa perubahan institusional akan mengakibatkan perubahan kebijakan. Dalam kenyataannya tidak selalu ada korelasi perubahan institusi dengan perubahan kebijakan. Secara teoritis, perubahan kebijakan dapat terjadi disebabkan proses implementasi dan dampak kebijakan yang tidak sesuai dengan tujuan kebijakan.

·      Model Proses: Kebijakan Sebagai Suatu Aktivitas Politik
Model proses menggunakan pendekatan politik modern (behavioral) sebagai dasar analisis kebijakan publik. Pendekatan ini berpusat pada tingkah laku individu-individu atau aktor-aktor politik. Salah satu tujuan utamanya adalah untuk mencari pola-pola tingkah laku (proses) yang dapat diidentifikasi. Dengan demikian, model proses berguna dalam membantu memahami aneka macam kegiatan yang terlibat dalam proses pembuatan policy. Adapun proses kebijakan terdiri atas:
1.    Identifikasi masalah (problem identification). Identifikasi masalah kebijakan melalui tuntutan dari individu atau kelompok untuk kegiatan pemerintah.
2.    Agenda setting. Fokus perhatian dari media massa dan pejabat publik dalam masalah publik secara khusus untuk memutuskan apa yang akan diputuskan.
3.    Perumusan usul kebijakan (policy formulation). Penentuan agenda permasalahan dan pengusulan program untuk penyelesaian masalah.
4.    Pengesahan kebijakan (policy legitimation). Memilih suatu usulan, pembentukan dukungan politik untuk usulan tersebut dan mengesahkan sebagai undang-undang hukum.
5.    Pelaksanaan kebijakan (policy implementation). Implementasi kebijakan melalui pengorganisasian birokrasi, menyiapkan pembiayaan atau memberi pelayanan, menarik pajak, dan sebagainya.
6.    Evaluasi kebijakan (policy evaluation). Penganalisisan tentang program-program, evaluasi hasil-hasil dan pengaruhnya, dan menyarankan perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian.
Model proses hanya menekankan bagaimana tahapan aktivitas yang dilakukan di dalam menghasilkan public policy. Oleh karena itu, model ini memiliki kelemahan dimana kurang memerhatikan isi substansi dari policy yang bakal dibuat.     
·      Model Rasionalisme: Kebijakan Sebagai Pencapaian Keuntungan Sosial Secara Maksimal
Model ini melihat bahwa tujuan kebijakan adalah maksimalisasi keuntungan sosial. Artinya pemerintah seharusnya membuat kebijakan yang mengakibatkan masyarakat luas mendapat keuntungan dengan mengurangi pembiayaan dalam jumlah besar yang dikeluarkan oleh masyarakat. Policy yang rasional adalah dirancang secara tepat untuk memaksimalkan hasil nilai bersih (net value achievement). Istilah rasionalitas silih berganti dengan pengertian efisien. Adapun syarat yang harus dipenuhi untuk memilih policy yang rasional yaitu:
1.    Harus mengetahui apa keinginan atau kebutuhan dari masyarakat (preferensi nilai).
2.    Mengetahui seluruh alternatif kebijakan yang mendukung pencapaian manfaat kebijakan.
3.    Mengetahui seluruh konsekuensi kebijakan.
4.    Memperhitungkan rasio antara manfaat dengan biaya yang dipikul dari tiap alternatif.
5.    Memilih alternatif kebijakan yang paling efisien.
Dengan demikian, pembuatan policy yang rasional memerlukan adanya informasi tentang pilihan-pilihan policy, kemampuan prediktif untuk mengetahui secara tepat akibat-akibat dari pilihan-pilihan policy tersebut, dan kecerdasan untuk menghitung secara tepat perimbangan antara biaya dan keuntungan (the ratio of costs and benefits). Banyak terdapat halangan-halangan yang menghambat terjadinya keputusan yang rasional. Berikut ini adalah beberapa halangan yang merintangi tercapainya pembuatan policy yang rasional:
1.        Tidak ada nilai-nilai sosial yang disetujui, nilai-nilai khusus dari individu dan kelompok saling berselisih.
2.        Pertentangan manfaat dan biaya tidak dapat diperbandingkan.
3.        Pembuat kebijakan tidak terdorong untuk membuat keputusan-keputusan yang berdasarkan pada tujuan-tujuan masyarakat, tetapi hanya keuntungan pribadi dan kelompok saja, seperti kekuasaan, status, dan kekayaan.
4.        Pembuat kebijakan tidak termotivasi untuk memaksimalkan keuntungan sosial, tetapi hanya memuaskan tuntutan-tuntutan untuk kemajuan. Dengan kata lain tidak berusaha mencari jalan yang terbaik yang menguntungkan semua pihak, tetapi hanya menemukan satu alternatif kebijakan yang dapat segera dikerjakan.
5.        Adanya investasi besar dalam suatu kebijakan dapat menghalangi pembuat kebijakan mempertimbangkan alternatif yang ditetapkan sebelumnya.
6.        Hambatan mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk mengetahui seluruh alternatif.
7.        Baik kemampuan prediktif dari ilmu sosial dan perilaku, maupun kemampuan prediktif dari ilmu fisik dan biologi tidaklah cukup memadai untuk meningkatkan kemampuan pembuat kebijakan dalam memahami akibat dari setiap alternatif.
8.        Meskipun dilengkapi oleh kemajuan teknik analisis yang canggih, pembuat kebijakan tidak mempunyai intelegensia yang mencukupi untuk menghitung secara tepat manfaat dan biaya ketika muncul masalah rumit dalam bidang politik, ekonomi, dan budaya yang harus ditangani.  
9.        Ketidakpastian mengenai konsekuensi dari berbagai alternatif menyebabkan pembuat kebijakan bersikap kaku mempertahankan keputusan sebelumnya.
10.    Sifat terpecah belah dari pembuatan kebijakan di dalam birokrasi yang besar sulit mengkoordinasikan pembuatan keputusan disebabkan muncul berbagai input dari banyak ahli menyamarkan point sebenarnya dari keputusan yang akan ditetapkan.
·      Model Inkremental: Kebijakan Sebagai Variasi Dari Kebijakan Sebelumnya
Model ini melihat bahwa kebijakan publik sebagai keberlanjutan dari kebijakan pemerintah sebelumnya dengan sedikit mengadakan perubahan atau dengan kata lain melakukan modifikasi kebijakan yang bersifat ‘tambal sulam.’ Ahli ilmu politik Charles E. Lindblom yang pertama kali mengemukakan model inkremental dalam serangkaian kritiknya terhadap model pembuatan keputusan yang rasional. Dasar pemikiran inkrementalisme adalah bersifat konservatif, dimana pembuat kebijakan menerima keabsahan program-program yang telah mapan dan secara diam-diam menyetujui agar kebijakan sebelumnya tetap dilaksanakan. Perhatian terhadap program baru dipusatkan untuk menambah, mengurangi, dan menyempurnakan program-program yang telah ada. Terdapat beberapa alasan mengapa pembuat kebijakan lebih bersifat inkrementalistis. Alasan-alasan itu antara lain:
1.        Keterbatasan waktu, informasi, maupun biaya untuk meneliti atas kebijakan yang sedang berjalan atau meneliti dari semua kemungkinan alternatif dari suatu kebijakan yang ada.
2.        Menerima keabsahan dari kebijakan sebelumnya, karena ketidaktentuan akibat-akibat yang bakal ditimbulkan dari kebijakan yang baru.
3.        Mungkin terdapat investasi dalam program yang ada, sehingga dapat menghalangi perubahan-perubahan yang benar-benar radikal.
4.        Secara politis, inkrementalism adalah cara yang bijaksana. Penting untuk menurunkan ketegangan konflik, memelihara kestabilan, dan melindungi sistem politik itu sendiri.
Inkrementalisme didukung pula oleh sifat manusia pada umumnya yang cenderung mempertahankan stabilitas, kurang menyukai konflik, dan tidak mau bersusah payah mencari hal yang paling baik diantara yang baik. 
·      Model Kelompok: Kebijakan Sebagai Keseimbangan Kelompok
Individu yang mempunyai kepentingan yang sama mengikatkan diri secara formal maupun informal dalam suatu kelompok dan melancarkan tuntutan terhadap pemerintah dinamakan kelompok kepentingan. Interaksi antar kelompok dalam masyarakat merupakan fakta sentral dari politik dan public policy. Kelompok merupakan jembatan yang esensial yang menghubungkan antara individu dengan pemerintahnya. Politik merupakan perjuangan diantara kelompok-kelompok untuk memengaruhi kebijakan publik. Tugas sistem politik adalah mengatur konflik antar kelompok dengan cara:
1.        Menetapkan aturan main dalam kelompok yang sedang berjuang;
2.        Mengatur kompromi dan menyeimbangkan kepentingan;
3.        Membentuk kompromi dalam bentuk kebijakan publik; dan
4.        Melaksanakannya. 
Kebijakan publik, pada waktu tertentu adalah ekuilibrium dari perjuangan antar kelompok. Perubahan pengaruh relatif suatu kelompok kepentingan dapat menyebabkan perubahan pada kebijakan publik. Artinya, policy akan bergerak ke arah yang dikehendaki oleh kelompok yang mendapatkan pengaruh dan akan menjauh dari keinginan kelompok yang kehilangan pengaruh.
Pengaruh dari kelompok kepentingan ditentukan oleh: jumlah anggota; kekayaan yang dimiliki; kekuatan organisasi; kepemimpinan; akses ke pembuat keputusan; dan kohesi internal organisasi. Pembuat kebijakan merespon tekanan dari kelompok, yaitu melakukan bargaining, negosiasi, dan kompromi atas tuntutan yang saling bersaing diantara kelompok yang berpengaruh.
·      Model Elite: Kebijakan Sebagai Preferensi Elite
Istilah elite menurut kamus adalah bagian yeng terpilih atau tersaring. Dalam kehidupan kelompok, elite adalah bagian yang superior secara sosial dari suatu masyarakat, sedangkan  dalam kehidupan politik, elite adalah kelompok tertentu dari suatu masyarakat yang sedang berkuasa. Kebijakan publik dilihat sebagai preferensi dari nilai-nilai elite yang berkuasa. Model elite menyarankan bahwa rakyat dalam hubungannya dengan kebijakan publik hendaknya dibuat apatis atau miskin informasi.
Dalam model ini, elite yang lebih banyak membentuk opini masyarakat dalam persoalan kebijakan dibanding dengan massa membentuk opini elite. Pejabat pemerintah, administrator-administrator, dan birokrat hanya melaksanakan kebijakan yang dibuat elite. Kebijakan mengalir dari elite ke massa melalui administrator-administrator. Model elite secara ringkas dapat dirumuskan sebagai berikut.
1.        Masyarakat dibagi ke dalam dua bagian, yaitu: yang mempunyai kekuasaan (dengan jumlah sedikit) dan yang tidak mempunyai kekuasaan (dengan jumlah banyak). Massa tidak berperan memutuskan kebijakan publik.
2.        Elite yang memerintah tidaklah mencerminkan massa yang diperintah. Kebijakan mengalir dari kehendak elite. Rakyat hanya menjadi objek keinginan elite.
3.        Gerakan nonelite yang membahayakan posisi elite harus dikendalikan secara kontinu untuk mencapai stabilitas dan menghindari revolusi.
4.        Elite membagi konsensus atas nama nilai-nilai dasar dari suatu sistem sosial yang ada dan perlindungan dari sistem tersebut. Seperti, di Indonesia dasar konsensus elite adalah falsafah dan dasar negara Pancasila.
5.        Kebijakan publik tidak merefleksi tuntutan masyarakat melainkan menonjolkan nilai kepentingan sekelompok orang yang berkuasa (elite). Perubahan dalam kebijakan publik bersifat tambal sulam (inkremental).
6.        Elite lebih banyak memengaruhi massa daripada massa yang memengaruhi elite.

·      Model Teori Permainan (Game Theory): Kebijakan Sebagai Pilihan Rasional Dalam Situasi Kompetitif
Teori permainan merupakan varian dari model rasional dan merupakan studi mengenai pembuatan keputusan rasional dalam suatu keadaan dimana terjadi dua atau lebih partisipan yang mempunyai pilihan-pilihan atas kebijakan dan hasilnya tergantung pada pilihan mereka masing-masing. Istilah ‘game’ mengandung arti pembuat kebijakan harus memutuskan sesuatu yang hasilnya tergantung pada pilihan aktor yang terlibat. Para pemain harus saling menyesuaikan diri guna saling merefleksikan pertimbangan masing-masing bahwa efektivitas kebijakan bukan hanya bergantung pada keinginan dan kemampuan mereka, tetapi juga terhadap apa yang akan dikerjakan oleh partisipan lainnya.
Teori ini merupakan bentuk dari rasionalisme yang diterapkan dalam situasi kompetitif, yaitu dimana keberhasilannya tergantung pada apa yang akan dikerjakan oleh para partisipan. Oleh karena itu, payoff (hasil yang menguntungkan) bukan hasil pertimbangan seorang aktor tetapi juga aktor lawannya. Ide model ini bermula dari chicken game. Dalam permainan ini, dua buah mobil dalam jalur yang sama, dengan posisi di tengah dan berlawanan, melaju sama kencangnya. Tentu, masing-masing pengemudi ingin menghindari kematian, tetapi juga menghindari gelar tidak terhormat dengan sebutan “chicken”, gelar pengecut yang menghindar terlebih dahulu. Hasil akhir permainan tergantung pada apa yang dikerjakan oleh masing-masing pengemudi, dan kedua pengemudi harus mencoba meramalkan bagaimana reaksi yang akan dilakukan lawan. Kunci dari model game adalah strategi. Strategi adalah pembuatan keputusan yang rasional dalam mana seperangkat tindakan dirancang untuk mencapai payoff yang optimal setelah meramalkan kira-kira apa yang akan dilakukan oleh lawan.
Konsep penting lainnya adalah “minimax” yang maknanya “meminimalkan kekalahan maximum atau memaksimalkan pencapaian manfaat yang minimal” bagi para pemain yang bersaing setelah memperhitungkan apa yang dikerjakan lawan. Strategi minimax adalah strategi konservatif yang dirancang untuk melindungi pemain dari permainan terbaik lawan. Rancangan dimakudkan untuk mengurangi kekalahan dan mencapai manfaat minimum daripada mencapai manfaat maksimal dengan risiko akan mengalami kekalahan besar di waktu lain. Dalam chicken game pemain sebaiknya memilih menghindar, karena merupakan pilihan yang meminimalkan kekalahan maksimum.
·      Teori Pilihan Publik (Public Choice Theory): Kebijakan Sebagai Pengambilan Keputusan Kolektif Oleh Kepentingan Diri Individu
Pilihan publik adalah studi ekonomi pengambilan keputusan nonmarket, khususnya penerapan analisis ekonomi untuk pembuatan kebijakan publik. Dalam ilmu politik, dipelajari perilaku dalam arena publik dan berasumsi bahwa individu-individu dipengaruhi oleh gagasan mereka sendiri dalam kepentingan publik. Jadi, terdapat versi-versi yang berbeda mengenai motivasi manusia yang dikembangkan dalam ilmu politik dan ekonomi: gagasan dari homo economics diasumsikan kepentingan pribadi seorang aktor yang berusaha memaksimalkan keuntungan pribadi, sedangkan homo politicus diasumsikan jiwa publik seorang aktor yang berusaha untuk memaksimalkan kesejahteraan sosial.
Teori ini berasumsi bahwa seluruh aktor politik, seperti pemilih, pembayar pajak, kandidat, legislatif, birokrat, kelompok kepentingan, partai, dan pemerintah berusaha untuk memaksimalkan keuntungan pribadi mereka dalam politik maupun dalam pasar. Menurut James Buchanan, bahwa individu-individu datang bersama-sama di dalam politik untuk kepentingan mereka bersama, sama seperti mereka datang bersama-sama di dalam pasar, dan melalui perjanjian (kontrak) diantara mereka sendiri yang mana mereka dapat meningkatkan sendiri kesejahteraan mereka. Dengan demikian, orang akan mengikuti kepentingan pribadi mereka baik di dalam politik maupun pasar, akan tetapi dengan motivasi diri sendiri mereka dapat saling menguntungkan melalui pengambilan keputusan kolektif.
Teori pilihan publik mengakui bahwa pemerintah harus menjalankan fungsi tertentu yang mana pasar tidak mampu mengatasinya yaitu kegagalan pasar. Oleh karena itu, pertama, pemerintah harus menyediakan barang publik, yaitu barang dan jasa yang harus diberikan kepada semua orang. Pasar tidak dapat menyediakan barang publik, karena biayanya melebihi nilai untuk tiap pembeli tunggal. Pertahanan nasional adalah contoh yang umum, sebagai perlindungan dari invasi asing akan menjadi terlalu mahal jika bagi satu orang untuk membelinya, sehingga tidak ada yang dapat dikecualikan dari manfaatnya. Jadi, orang akan bertindak secara kolektif melalui pemerintah untuk menyediakan pertahanan. Kedua, eksternalitas, merupakan kegagalan pasar lainnya dan dibenarkan bagi pemerintah untuk melakukan intervensi. Eksternalitas terjadi ketika suatu aktivitas dari seorang individu, perusahaan, atau pemerintah daerah membebani biaya-biaya yang tidak dikompensasi pada orang lain. Contohnya adalah pembuangan polusi udara dan air, yang mengakibatkan orang lain menanggungnya. Pemerintah merespon hal ini dengan mengatur kegiatan yang menghasilkan eksternalitas atau memaksakan denda pada kegiatan tersebut untuk mengimbangi biaya mereka bagi masyarakat.
Teori pilihan publik membantu menjelaskan mengapa partai politik dan kandidat umumnya gagal untuk menawarkan alternatif kebijakan yang jelas dalam kampanye pemilu. Partai politik dan kandidat tidak tertarik dalam memajukan prinsip-prinsip, melainkan memenangkan pemilu. Mereka merumuskan posisi kebijakan mereka untuk memenangkan pemilu; mereka tidak memenangi pemilu untuk merumuskan kebijakan. Jadi, masing-masing partai dan kandidat mencari posisi kebijakan yang akan menarik jumlah pemilih terbesar.

Referensi:
Dye, Thomas R. 2011. Understanding Public Policyi. Singapore: Longman.
Kusumanegara, Solahuddin. 2010. Model dan Aktor dalam Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: GAVA MEDIA.
Thoha, Miftah. 2010. Ilmu Administrasi Publik Kontemporer. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

1 komentar: