Selasa, 14 Desember 2010

FENOMENA ANAK JALANAN

Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk yang cukup padat di dunia dan terdiri dari masyarakat yang pluralis termasuk strata di dalam masyarakat itu sendiri. Sehingga bukan merupakan suatu hal yang asing lagi bagi kita warga negara Indonesia apabila menjumpai banyak anekaragam orang-orang yang ada di negeri ini, mulai dari kondisi yang ada di kota-kota hingga pedesaan. Meskipun Indonesia dipandang sebagai negara yang kaya sumber alamnya, tetap saja kita dapat menyaksikan bagaimana orang-orang Indonesia sendiri masih banyak yang berada di bawah garis kemiskinan bahkan sampai ada yang terlantar. Melihat kondisi ini sangatlah ironis, karena menjadi sebuah sisi gelap di tengah perkembangan kemajuan pembangunan negeri ini.
Perkembangan kota di segala bidang tampaknya tidak hanya memberikan nuansa positif bagi kehidupan masyarakat, namun juga melahirkan persaingan hidup. Sehingga muncul fenomena kehidupan yang berujung pada kemiskinan. Kota yang padat penduduk dan banyaknya keluarga yang bermasalah telah membuat makin banyaknya anak yang kurang gizi, kurang perhatian, kurang pendidikan, kurang kasih sayang dan kehangatan jiwa, serta kehilangan hak untuk bermain, bergembira, bermasyarakat dan hidup merdeka. Bahkan banyak kasus yang menunjukkan meningkatnya penganiayaan terhadap anak-anak, mulai tekanan batin, kekerasan fisik, hingga pelecehan seksual, baik oleh keluarga sendiri, teman, maupun orang lain.
Komposisi masyarakat yang terlantar umumnya terdiri dari anak-anak dan lansia. Pada tahun 2006 terdapat 78,96 juta anak di bawah usia 18 tahun, 35,5% dari total seluruh penduduk Indonesia. Sebanyak 40% atau 33,16 juta diantaranya tinggal di perkotaan dan 45,8 juta sisanya tinggal di perdesaan. Sebagian besar anak-anak ini berasal dari keluarga miskin dan tertinggal, yang tidak mempunyai kemampuan untuk memberdayakan dirinya, sehingga rentan terhadap kekerasan, eksploitasi, ketimpangan gender, perdagangan anak dan lain-lain. Menurut laporan Depsos pada tahun 2004, sebanyak 3.308.642 anak termasuk ke dalam kategori anak terlantar.
Dewasa ini, pertumbuhan anak jalanan di Indonesia semakin meningkat, terutama di kota-kota besar. Jakarta adalah salah satu contoh, dimana kita akan sangat mudah menemui anak jalanan di berbagai tempat, mulai dari perempatan lampu merah, stasiun kereta api, terminal, pasar, pertokoan, dan bahkan mal. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa biasanya mereka memang dikoordinir oleh kelompok yang rapi dan profesional, yang sering disebut sebagai mafia anak jalanan. Setiap anggota kelompok ini mempunyai tugasnya. Ada yang melakukan mapping di setiap perempatan jalan, ada yang mengatur antar jemput dan sebagainya. Mafia ini mengeksploitasi anak-anak dan menjadikannya sebagai sebuah ladang bisnis. Dan yang lebih memprihatikan, kondisi ini seringkali atas persetujuan dari orang tua mereka sendiri, yang bahkan juga tak jarang berperan sebagai bagian dari mafia anak jalanan.
Seseorang bisa dikatakan anak jalanan, bila berumur dibawah 18 tahun, yang menggunakan jalan sebagai tempat mencari nafkah dan berada di jalan lebih dari 6 jam sehari. Ada beberapa tipe anak jalanan, yaitu (1) anak jalanan yang masih memiliki orang tua dan tinggal dengan orang tua, (2) anak jalanan yang masih memiliki orang tua tapi tidak tinggal dengan orang tua, (3) anak jalanan yang sudah tidak memiliki orang tua tapi tinggal dengan keluarga, dan (4) anak jalanan yang sudah tidak memiliki orang tua dan tidak tinggal dengan keluarga.
Banyak penampungan, rumah singgah dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang mengurus masalah anak jalanan, tapi anak-anak jalanan makin banyak dan malah berkembang semakin pesat. Yang sudah di sekolahkan malah keluar dari sekolahnya serta kembali menjadi pengamen dan peminta-minta. Menurut teori reinforcement: "sesuatu yang menyenangkan akan selalu diulang, sesuatu yang tidak menyenangkan akan dihindari". Mereka menganggap sekolah adalah sesuatu yang tidak menyenangkan (punishment) dan dengan mengamen/meminta-minta di jalan adalah sesuatu yang menyenangkan (reward) karena akan mendapatkan banyak uang untuk bersenang-senang. Apalagi sekarang ini menjadi anak jalanan adalah sesuatu yang "TOP", mereka diundang dan dapat bersalaman dengan presiden pada hari kemerdekaan/hari anak-anak/hari khusus lainnya, itu adalah sesuatu reinforcement yang hebat.
Anak jalanan adalah orang-orang yang secara fisik dan psikis belum dapat dikatakan menjadi dewasa. Mereka biasanya menghabiskan waktu mereka di jalanan dengan melakukan berbagai kegiatan-kegiatan yang bisa mendatangkan uang untuk mereka, seperti mengamen, menawarkan jasa (menjadi tukang sol sepatu, tukang parkir, tukang koran, dll), bahkan tidak sedikit dari mereka yang biasa mencopet untuk bisa mendapatkan uang yang lebih banyak. Sangat berat menjalani peran sebagai seorang anak jalanan. Tidak bisa sekolah, bertempat tinggal di kolong jembatan/emperan toko dengan peralatan yang seadanya, mencari uang di jalanan dengan modal seadanya. Bisa dibayangkan, dengan pendapatan perhari yang seadanya, berapa kali mereka bisa makan dalam sehari? Maka dari itu, kita patut bersyukur dengan kondisi kita yang sekarang, yang masih diberi berbagai kecukupan. Sebenarnya, bukan menjadi keinginan mereka untuk menjalani kehidupan yang seperti itu. Keadaanlah yang mengharuskan mereka menjalani hidup seperti itu.

Daftar Pustaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar