Selasa, 14 Desember 2010

Pencabutan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan

Undang-undang badan hukum pendidikan atau disingkat dengan UU BHP telah menemui titik akhir setelah Mahkamah Konstitusi membatalkan UU No. 9 Tahun 2009 tentang badan hukum pendidikan ini karena beberapa alasan yang secara mutlak menggugurkan undang-undang tersebut. Jelas hal ini merupakan proses yang panjang karena sejak penerapan undang-undang tersebut menuai banyak kontroversi dalam masyarakat. Sejumlah masyarakat mengkritik kebijakan tersebut yang dinilai sarat dengan kontradiksi pendidikan di Indonesia karena tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat banyak, sebagaimana yang diamanahkan dalam pembukaan UUD 1945.
Bertolak dari isi Undang-undang Badan Hukum Pendidikan, saya tidak setuju dengan pemberlakuan kebijakan tersebut. Mengapa dikatakan demikian? Undang-undang BHP sangat bertentangan dan tidak sesuai dengan konstitusi yaitu UUD 1945 khususnya pada pasal 31 yang berisikan tentang kesempatan untuk mendapatkan pendidikan. Sehingga, UU tersebut menjadi lemah karena tidak adanya hukum yang mengikat dan mendasarinya. Jelas, pembuat kebijakan nampaknya tidak lagi memerhatikan korelasi antara kebijakan yang dibuat dengan apa yang menjadi amanah UUD 1945 sebagai acuan dalam menghasilkan sebuah produk hukum.
 Sudah sepatutnya pembiayaan dan pengelolaan pendidikan itu merupakan tanggung jawab dari pemerintah, akan tetapi UU BHP itu ditujukan untuk memperkuat otonomi penyelenggaraan pendidikan. Hal itu terlihat pada pasal 3 yang berisikan bahwa pada jenjang pendidikan dasar dan menengah diterapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah. Sementara itu, pada jenjang perguruan tinggi, diterapkan otonomi perguruan tinggi. Dengan demikian perguruan tinggi memilliki landasan untuk melakukan kemandirian dalam mengelola sendiri lembaganya, termasuk mengelola dana secara otonom.  Kondisi tersebut, secara otomatis dimaknai sebagai usaha lepas tangan pemerintah dalam pembiayaan pendidikan, padahal pemerintah memiliki peranan yang besar di dunia pendidikan.
Kondisi dimana perguruan tinggi khususnya PTN yang bersifat otonom ini disertai lemahnya intervensi pemerintah dalam praktik pembatasan subsidi atau dana yang dikucurkan pada PTN membuat mereka bebas untuk menghimpun dana secara mandiri dari masyarakat. Akibat yang tentunya tidak dapat dipungkiri lagi ialah penyelenggara pendidikan tersebut secara bebas menentukan tarif masuk kepada setiap calon peserta didik dan pemerintah terkesan telah melepas tanggung jawab dengan membebankan biaya pendidikan kepada peserta didik. Pendidikan dengan biaya mahal adalah konsekuensinya yang cenderung bersifat sebelah pihak. Artinya, pendidikan tersedia bagi mereka yang kaya dengan kemampuan uang mereka sehingga dapat memperoleh pendidikan dengan mudah. Sebaliknya, mereka yang tidak memiliki kemampuan finansial atau orang-orang miskin sulit untuk menjangkau biaya pendidikan dan  terancam tidak dapat menikmati pendidikan tinggi. Tidak menutup kemungkinan, ini merupakan jalan yang terbuka lebar bagi adanya komersialisasi pendidikan. 
Ternyata, pemerataan kesempatan dalam memperoleh pendidikan menjadi pertanyaan mengingat UUD 1945 mengamanahkan hal tersebut terlebih untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Apa yang menjadi tujuan konstitusi jelas tidak sejalan dengan undang-undang BHP. Diasumsikan, tujuan yang sebenarnya ingin diharapkan dari adanya UU BHP adalah pendidikan yang lebih baik, akan tetapi malah sebaliknya. Pemerintah hendaknya tetap konsisten dan benar-benar menjalankan apa yang telah diamanahkan di dalam UUD 1945. Dengan demikian, maka pemerintah dituntut untuk merealisasikan alokasi anggaran sebesar 20 persen untuk pendidikan secara komprehensif agar akses memperoleh pendidikan dapat merata bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Referensi:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar